Perjuangan melawan kemiskinan di perbatasan TTU


Menengok pilunya kehidupan rakyat di perbatasan RI - Timor Leste


Kehidupan di daerah perbatasan terus disoroti dalam pemerintahan Jokowi-JK. Pola pembangunan dari daerah pesisir diharapkan menjadi awal akan adanya perhatian pada daerah yang terisolir dan terluar. Setidaknya hal itu sudah mulai digalakan di paruh tahun kedua kepemimpinan mereka.

Dari sekian daerah perbatasan yang masih jauh dari kata maju, daerah perbatasan di NTT juga tak kalah miris. Hal itulah yang dialami masyarakat di Desa Dusun Nelu, Desa Sunbaki, Kecamatan Taibenu, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur.

Sudah lebih kurang dua tahun, Thomas Siki (37) 'memarkirkan' televisi LG 24 inch di atas meja penuh debu. Cukup lama televisi itu tak mengeluarkan gambar dan bunyi. Padahal, cuma televisi itu satu-satunya hiburan masyarakat di Dusun Nelu. Di dusun yang dihuni 54 kepala keluarga (KK) itu, cuma ada satu televisi. Itupun hasil hibah dari pemerintah. Tapi, punya televisi saja tidak cukup. Agar bisa menyala dibutuhkan genset berkapasitas 800 watt, mengingat di desa yang berbatasan dengan Timor Leste ini tidak ada aliran listrik. Antena parabola wajib terhubung dengan televisi. Tanpa parabola, jangan berharap bisa menyaksikan acara televisi.


"Ini TV milik kelompok tani bantuan Pemerintah pusat. Kami nonton malam-malam atau hari Minggu," kata Thomas ketika berbincang dengan penulis di rumahnya di Dusun Nelu, TTU, NTT, belum lama ini.

Televisi ini cukup berjasa bagi warga. Selain sebagai penyampai informasi, televisi ini juga sebagai sarana hiburan warga setelah seharian bekerja di ladang. Biasanya, tanpa diundang, mereka selalu berkumpul di rumah Thomas pada malam hari. Warga berbondong-bondong datang dengan satu tujuan sama, menonton televisi. Thomas ikhlas mengeluarkan uang untuk membeli bensin agar genset tetap menyala. Semua dilakukan agar warga di dusunnya tidak terbelakang dan bisa mengetahui informasi. Tapi kebiasaan itu sudah lama tak terlihat lagi.

Dua tahun terakhir rumah Thomas tak lagi ramai didatangi warga. Genset berkapasitas 800 watt mengalami kerusakan. Awalnya masih bisa terpakai setelah sempat dihubungkan dengan daya accu mobil. Tapi itu tidak berlangsung lama. "Genset sudah rusak dan accu mobil kurang daya. Kami tidak lagi nonton bersama," cerita ayah tiga anak ini.

Hanya ada satu televisi di Dusun Nelu

Cerita Thomas itu bagian dari salah satu kisah pilu kehidupan masyarakat di perbatasan yang jauh dari kehidupan glamor masyarakat di kota-kota besar. Dusun Nelu merupakan salah satu titik perbatasan antara NKRI dan Leolbatan, wilayah Republik Demokratik Timor Leste (RDTL). Untuk mencapai kampung ini dibutuhkan waktu 2 jam dari Kota Kefamenanu. Meski bisa dilalui mobil, sejauh ini hanya mobil patroli milik Dansatgas/Danki Kipur Pamtas RI-RDTL Sektor Barat yang mampu menaklukkan medan jalan yang terjal dan curam. Jalanan yang selama ini jadi ciri khas daerah perbatasan di Indonesia.

Menginjakkan kaki di dusun ini seolah memasuki 'kota sunyi' tanpa kehidupan. Sangat jarang menemukan atau melihat aktivitas masyarakat. Di siang hari, kebanyakan mereka berada di tengah ladang. Terbayangkan suasana yang makin mencekam ketika malam karena sejauh mata memandang tidak ada fasilitas penerangan jalan. Hanya ada beberapa rumah beratapkan alang-alang dan beberapa lainnya beratapkan seng. Rumah ini yang jadi saksi bisu minimnya pembangunan daerah perbatasan. 

Begitu pula Paula Salu (36), sang isteri hanya bisa pasrah meratapi kehidupan yang dijalaninya bersama keluarga di Dusun Nelu. 'Jauh dari peradaban', kiasan itu yang digunakan untuk menggambarkan pilunya kehidupan masyarakat di daerah yang berbatasan dengan Timor Leste. Sejak melepaskan diri dari NKRI sekitar 15 tahun lalu, pembangunan di wilayah Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) boleh dikatakan berjalan cukup kencang.

Selain pusat kota, pembangunan wilayah perbatasan juga di bekas provinsi ke-27 Indonesia ini juga cukup cepat. Terutama pembangunan infrastruktur dasar seperti listrik, kesehatan, pendidikan dan akses jalan bagi masyarakat. Dia tidak menyesal memilih tetap setiap pada Indonesia di saat banyak saudaranya memilih menyeberang ke Timor Leste. Hanya saja dia tidak bisa menyembunyikan rasa iri yang ada dalam hati. Terutama jika menengok pembangunan infrastruktur dasar di Timor Leste. 

Dusun Nelu merupakan titik perbatasan di kabupaten TTU yang bisa dibilang tak tersentuh pembangunan. Tengok saja saat matahari kembali ke peraduannya dan berganti cahaya bulan, warga hanya diberi satu pilihan untuk penerangan yakni menggunakan lampu minyak tanah. Tak ada akses penerangan listrik ke dusun terpencil di atas bukit ini. Satu-satunya penerangan listrik berasal dari daya solar cell yang mati hidup tergantung daya matahari.

"Kalau malam hari, lampu di Timor Leste itu sangat kelihatan. Mereka sudah listrik, padahal kita dulu satu Provinsi," ujar Paula.

Kalau malam hari, lampu di Timor Leste terang benderang

Seperti masyarakat pada umumnya, Paula dan suaminya yakni Thomas Siki, juga punya mimpi. Impiannya tidak muluk-muluk, hanya ingin memiliki rumah permanen. Impian itu hanya ada di angan saja lantaran tidak mungkin bagi dia dan warga sekitar mendatangkan bahan bangunan dari Kota Kefamenanu, ibu kota TTU. "Saya mau bangun rumah yang layak. Tapi kondisi jalan membuat kami tidak bisa mendatangkan semen dan pasir," kata Thomas.

Saat ini sudah mulai memasuki musim penghujan. Tak lama lagi warga Dusun Nelu bakal terisolir dari dunia luar. Jalan tanah dan berkerikil yang baru dibuka tahun 2003 ini akan menjadi medan yang sulit dijangkau moda transportasi.

Penulis bertemu Thomas Kolo (30), seorang warga Dusun Nelu. Dia menceritakan, tempat tinggalnya menjadi satu-satunya titik perbatasan yang jauh dari kemajuan. Apalagi jika dibandingkan titik perbatasan lainnya di TTU. Di sana tak ada sarana pendidikan, kesehatan yang memang dibutuhkan masyarakat. "Jangankan sekolah atau layanan kesehatan seperti Puskesmas, Polindes yang kecil saja tidak ada di sini," kata Thomas.

Jangan membayangkan jalan menuju Dusun Nelu mulus diaspal. Jalannya setapak dengan kondisi memprihatinkan. Tapi itu akses jalan satu-satunya yang dimiliki warga, termasuk anak-anak yang hendak ke sekolah. Anak-anak di dusun itu tak punya pilihan. Setiap hari, mereka 'dipaksa' berjalan 7 km untuk bisa sampai ke sekolah. "Anak sekolah pergi-pulang 6 jam dari rumah ke sekolah. Kasihan yang masih kelas 1 dan 2. Masih kecil-kecil untuk jauh sejauh itu," desah Thomas.

Kondisi ini juga dikeluhkan Komandan Pos perbatasan, Sertu Sodikin. Minimnya infrastruktur dan akses jalan menjadi satu-satunya kendala aktivitas warga dan pasukan penjaga perbatasan. "Kami sudah beberapa kali membicarakan hal ini dengan Camat dan Kepal Desa Sunbaki. Tapi sejauh ini belum ada realisasinya," terang Sertu Sodikin.

"Kalau sakit dan berobat kami harus ke Kecamatan. Kadang kalau sudah tak tahan lagi, ada warga yang meninggal di perjalanan," kenangnya pilu.



Tulisan ini sudah dimuat dalam merdeka.com dan digubah seperlunya.

Comments

  1. piluhhhhhhhh...... dan sungguh kejamnya negeri ini.
    Mantap kae.. semangat......!!!!!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Gereja Ayam, simbol kebangkitan pribumi

Nasib rumah para jenderal korban peristiwa 65