Gereja Immanuel Depok dan sejarah Kristen Batavia

foto merdeka.com

Nama Depok sudah lama dikenal sebagai kota pendidikan. Kita dapat dengan mudah menemukan kampus dan lembaga pendidikan tinggi lainnya di Depok. Nama Depok kian melambung ketika Universitas Indonesia dipindahkan ke kota ini.

Tapi cerita tentang Depok rasanya tak lengkap tanpa mengisahkan komunitas Kristen di kota ini. Boleh dibilang, kota ini menyimpan sejarah tentang awal mula penyebaran agama Kristen pada abad ke 18 Masehi kepada orang-orang Depok.

Dan bukti sejarah yang masih bertahan hingga kini adalah Gereja Immanuel Depok. Gereja tua ini terletak di Jl. Pemuda, Depok Lama. Dulu, nama jalan ini disebut Kerkstraat atau Jalan Gereja. Hingga kini, sejumlah gereja dari beberapa aliran ada di jalan ini.

Tampilan bangunan Gereja Immanuel Depok terlihat tidak begitu istimewa. Tentu jika gereja ini dibandingkan dengan gereja-gereja yang ada di Jakarta yang dibangun Pemerintahan Belanda. Gereja ini sederhana, berukuran mungil dengan luas 360 meter persegi. Arsitekturnya pun biasa-biasa saja. Tidak ada hiasanya yang mencolok selain jalinan rapi simetris dan bentuk lengkungan pada tiap-tiap elemen bangunan yang membentuk satu-kesatuan.

Cikal bakal Gereja Immanuel Depok bermula dari peran seorang anggota dewan luar biasa serikat dagang Belanda, VOC. Dia adalah Cornelis Chastelein, warga Belanda yang lahir pada 10 Agustus 1657. Chastelein pernah menjadi 'Tweede Oppercoopam des Casteels van Batavia' (Pedagang besar kedua kastil Batavia). Dia tiba di Batavia pada 16 Agustus 1675 dan kemudian bekerja sebagai juru catat pembukuan Kamer Van Zeventien.

Semasa hidupnya di Batavia, Chastelein membeli lahan di beberapa wilayah. Di kemudian hari wilayah itu dikenal dengan Jatinegara, Kampung Melayu, Karanganyar, Pejambon, Mampang dan Depok. Lahan miliknya ditanami kopi dan lada.

Untuk lahan di Depok, Chastelein menanamnya dengan lada. Chastelein pun mempekerjakan para budak untuk membantunya mengolah lahan pertanian lada. Dia mengambil para budak itu dari Ambon, Bugis, Kalimantan dan Bali.

Komunitas budak yang dimerdekakan Chastelein

Dua puluh tahun setelah Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen membangun Batavia tahun 1619, wilayah Depok mulai disentuh VOC. Batavia tidak lagi terbatas dalam Kastil, atau kota yang dikelilingi tembok di mana di dalamnya mengalir sungai Ciliwung yang menghadap ke Laut Utara. Kawasan di luar kota itu disebut Oomelanden. Banyak pejabat VOC membeli tanah untuk lahan perkebunan dan kepentingan pribadi.

Kebutuhan yang tinggi untuk mendatangkan para budak terjadi seiring berkembangnya Oomelanden ini. Sementara itu di Batavia sendiri sudah mulai kekurangan tenaga kerja untuk lahan perkebunan. Mengatasi hal itu, VOC kemudian mendatangkan pekerja-pekerja dari China, bangsa-bangsa lain dari Asia dan termasuk dari wilayah Nusantara. Mereka inilah yang mendiami dan menggarap lahan perkebunan di sekitar Batavia. Dan dari sinilah muncul nama daerah-daerah di Jakarta saat ini yang menggunakan nama sesuai nama perkebunan seperti Kebon Jeruk, Kebon Sereh, dan Kebon Pala.

Seiring tingginya kebutuhan para budak, VOC mengambil kesempatan di dalamnya. Mereka mengambil pekerja dari Nusantara untuk bisnis perbudakan seperti Sulawesi, Bali dan Pulau Timor. Memang, pada zaman VOC sendiri sudah ada dua jenis budak yaitu budak pekerja dan budak rantai atau ketingganger. Ketingganger ini merupakan tentara musuh yang tidak dapat ditebus dengan uang. Sementara itu budak pekerja umumnya berasal dari luar Nusantara seperti India.

Paruh kedua abad ke 17, muncul jenis perbudakan lain. Budak kuli. Mereka ini diambil dari Nusantara seperti Sulawesi Selatan, Bali dan Pulau Timor seperti yang disebutkan di atas.

Pada abad ke 18, mulai ada pergeseran akan makna budak. Sebelumnya, harga budak ditentukan oleh faktor usia dan kekuatan fisiknya. Pada abad ini, harga budak perempuan tiga kali lipat tingginya dari budak laki-laki. Hal ini disebabkan oleh tingginya minat orang Eropa dan China menjadikan budak perempuan sebagai gundik mereka.

Mirisnya, jika budak perempuan yang menjadi gundik ini tidak dibutuhkan lagi, pemiliknya menjual lagi dengan status budak. Banyak dari mereka yang kemudian dibaptis menjadi Kristen tapi gereja tak cukup berdaya menghadapi situasi ini.

Perkembangan budak inilah yang juga turut melahirkan komunitas Kristen di Depok dibawah pimpinan Chastelein. Tercatat dalam buku 300 Tahun Gereja Immanuel Depok, Chastelein disebutkan kecewa dengan sistem perbudakan VOC ini.

Meski dia mempekerjakan para budak di perkebunan miliknya, Chastelein tetap memperlakukan para budak secara layak. Sebanyak 200 budak dari 12 keluarga dimerdekakan Chastelein setelah memeluk Kristen Protestan kala itu. Keduabelas keluarga inilah yang populer disebut 'Belanda Depok'. Keduabelas keluarga itu yakni, Soedira, Loen, Bacas, Ishak, Leander, Laurens, Jonathans, Tholense, Samuel, Joseph, Jakob dan Zadokh. Nama marga-marga itu diukir di pintu-pintu gereja GPIB Immanuel Depok, rumah ibadah yang diresmikan sendiri oleh Chastelein.

Setelah Chastelein wafat, dia menghibahkan tanah Depok dalam surat wasiatnya kepada 12 keluarga budak yang telah dimerdekakannya tersebut. Namun, Belanda rupanya tidak menyetujui surat wasiat itu namun tetap membolehkan keduabelas keluarga untuk mengolah tanah di Depok.

Setelah Indonesia merdeka, tanah Depok milik Chastelein dibeli oleh pemerintah Indonesia. Dari tanah yang dibeli ini, yang tersisa adalah Gereja Immanuel Depok, sekolah, pastoran, balai pertemuan dan areal pemakaman seluas 0,8621 hektar. Semua peninggalan Chastelein ini tetap dikelola oleh 12 keluarga yang dimerdekakan Chastelein. Mereka kemudian mendirikan Lembaga Chornelis Chastelein (LCC) untuk mengurus dan mengolah aset-aset Chastelein hingga saat ini.



Tulisan ini sudah dimuat di merdeka.com

Comments

Popular posts from this blog

Nasib rumah para jenderal korban peristiwa 65

Perjuangan melawan kemiskinan di perbatasan TTU

Gereja Ayam, simbol kebangkitan pribumi