Kisah Roehana Koddoes, srikandi dari tanah Minang

"Kartini tidak sendirian. Bahwa sebelum Kartini sudah ada perjuangannya," Kalimat itu terlontar dari Fitriyati Dahlia, penulis biografi Roehana Koddoes, perempuan perintis surat kabar di Indonesia pertama. 


Mantan wartawati ini tak menampik fakta Kartini adalah pejuang emansipasi perempuan Indonesia dengan jasa-jasanya mengangkat harkat dan martabat perempuan dari dominasi laki-laki pada zamannya. Namun bagi Fitriyati, selain Kartini, Roehana adalah salah satu perempuan yang sudah lama merintis gerakan perjuangan perempuan bahkan sudah terlebih dahulu sejak Kartini.

Seperti Kartini dan pahlawan perempuan di Indonesia lainnya, Roehana pantas mendapat gelar Pahlawan Nasional dalam jasa-jasanya di bidang pendidikan, perintis surat kabar dan organisasi perempuan. 

Tak banyak yang mengetahui siapa sebenarnya Roehana Koddoes. Dalam pelbagai literatur sejarah nasional, namanya kerap tak disebut. Pun riwayat hidup dan kisah perjuangan Roehana tersimpan rapi di Gedung Arsip Nasional dan sejumlah kumpulan kliping di Perpustakaan Leiden, Belanda.

Kisah perjuangannya bahkan tidak se harum Kartini atau sering disebut-sebut seperti Dewi Sartika atau Cut Nyak Dien. Namun, di daerah Minangkabau, Sumatera Barat, Roehana merupakan kaum perempuan yang turut berjuang seperti Rachmah El-Joenesjah, Rasuna Said (Padang) dan Sitti Mangopoh (Maninjau).

Roehana Koddoes lahir di Kota Gadang, Minangkabau pada 20 Desember 1884. Ia merupakan kakak sulung berbeda ibu dengan mantan Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Sepupunya adalah orang dekat Presiden Soekarno, Kiai Haji Agus Salim.
Sementara itu Roehana juga bibi dari penyair Chairil Anwar. Rohana beribukan Kiam, sedangkan Sutan Sjahrir lahir dari Sitti Rabiah, istri kelima ayah Roehana, Moehammad Rasjad.

Dibesarkan dalam budaya patriarkat yang tak membolehkan perempuan bersekolah, Roehana kecil bahkan tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Namun dewi fortuna berpihak kepada dia ketika merantau ke Simpang Tonang Talu mengikuti ayahnya.
Roehana mengawali karier sebagai juru tulis dan meningkat menjadi hoofd djaksa pegawai pemerintahan Belanda. Di tanah rantau ini, hobi membaca dan menulis Roehana mulai terasah.

Ketika belajar membaca dan menulis, usia Roehana saat itu baru 8 tahun. Dia kemudian belajar otodidak di bawah pengasuhan sang ibu, Kiam. Sembari mengasuh kedua adiknya, Ratna dan Roeskan, ia kerap membaca dengan suara lantang untuk menghibur adiknya supaya tenang dan tertawa.

Dalam catatan Fitriyati, ulah Roehana kecil ini membuat banyak orang yang lewat di depan rumahnya heran sekaligus kagum. Pada masanya, tak ada anak kecil apalagi perempuan pandai membaca dan menulis dalam aksara Latin, Arab dan Arab Melayu. Berangkat sini lah, Rohana 'resmi' menjadi guru kecil tahun 1892.

"Kawan-kawan ingin belajar dan menulis?," ujar Fitriyati menceritakan ketika Roehana menawarkan kepada teman-teman seusianya. Hal itu juga kemudian menjadi pemacu semangat Roehana kecil menjadi seorang guru.

Bisa membaca, menulis dan bahkan menjadi guru bagi kawan-kawannya tak membuat hati Roehana puas. Roehana pun beranjak remaja dengan menyimpan tanya dalam hatinya. Dia marah dengan ketidakadilan yang dialami kaum perempuan karena tidak dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya laki-laki.

"Ayah, mengapa hanya anak laki-laki yang diperbolehkan sekolah? Bila kah ada sekolah untuk anak perempuan di sini? Bilakah ambo bisa sekolah?" tanya kala itu,".
Sang ayah rupanya memahami kekecewaan Rohana. Dia menyemangati gadis kecil itu dengan mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tak harus di sekolah.

Di usia remaja rupanya Roehana juga belajar tafsir Alquran tentang kedudukan kaum perempuan. Di sana dia belajar dan menarik kesimpulan dalam agama Islam setiap orang diperbolehkan mengenyam pendidikan.

Di bawah bimbingan sang ayah, Rasjad, Roehana tumbuh menjadi perempuan yang berwawasan luas. Diskusi demi diskusi kerap dilakukannya dengan Rasjad. Roehana tumbuh menjadi perempuan dengan pikiran yang kritis. Dia mengutarakan cita-citanya kepada Rasjad untuk membuat sesuatu yang mengubah ketidakadilan terhadap perempuan, terutama di bidang pendidikan dan pekerjaan.

"Roehana didukung penuh oleh ayahnya," kata Fitriyati. Di kemudian hari, karena kerap mengikuti ayahnya yang berpindah tugas, Roehana mempunyai penilaian tersendiri atas nasib ketidakadilan yang dialami perempuan. "Dan cita-citanya semakin tinggi," tuturnya.
Kota Gadang sudah mulai mengalami kemajuan ketika Roehana Koddoes kembali dari tanah rantau. Sekolah-sekolah sudah mulai dibuka, namun hanya satu dua saja perempuan yang ikut di dalamnya.

Kebiasaan menulis dan membaca keras tak ditinggalkan Roehana. Dia ingin masuk dan bergaul dalam kehidupan remaja di Kota Gadang meski ia kerap menjadi bahan gunjingan oleh kebiasaannya membaca dan menulis.

Namun, situasi tak memadamkan bara semangat dan cita-cita Roehana. Tuo Sini, nenek Roehana termasuk orang yang memahami maksud remaja itu. Tuo Sini kerap menyemangati Roehana muda meminta gadis itu bersabar dengan cita-citanya.

"Pikirannya progresif dan menembus SARA. Dia pernah menulis tentang perempuan Hindu," ujar Fitriyati, penulis buku biografi Roehana Koddoes saat berbincang dengan merdeka.com di Balai Budaya Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu pekan lalu.

Kesabaran Roehana pun berbuah hasil. Lambat laun kawan-kawannya di Kota Gadang mendekati Roehana yang tengah asyik membaca buku cerita. Mereka diam-diam tertarik dan mengharapkan agar Roehana mengajarkan mereka menulis dan membaca.

Sejak itu, gadis remaja dan anak-anak yang belum bersekolah belajar menulis dan membaca dengan Roehana. Lagi-lagi, berkat dukungan keluarga, Roehana dan kawan-kawannya diizinkan menggunakan kamar di salah satu rumah gadang untuk digunakan sebagai kelas.

Selain itu, murid-murid yang belajar di rumah Roehana tak cuma remaja perempuan dan anak-anak, terdapat juga ibu muda dan anak laki-laki yang belum bersekolah menjadi murid Roehana. Kelak, Roehana tak saja mengajarkan baca dan tulis tetapi juga mengajari mereka keterampilan jahit-menjahit, menyulam, merajut, menenun, dan lain sebagainya.

Tercatat, Roehana juga memiliki hubungan persahabatan dengan nyonya-nyonya Belanda ketika memasarkan hasil kerajinan mereka. Dari hubungan ini pula mereka saling bertukar informasi dengan surat-menyurat tentang peristiwa di luar negeri.

Roehana menikah dengan Abdoel Koddoes, seorang laki-laki pilihan keluarganya yang tak lain kemenakan ayahnya Rasjad pada tahun 1908 pada usia 24 tahun. Meski tak begitu kaya, Roehana bersyukur memiliki seorang suami yang berwawasan luas dan berjiwa pemuda pergerakan yang menginginkan perubahan situasi politik di tanah Melayu.

Namun pernikahan dengan Abdoel inilah yang membuat Roehana menjadi bahan gunjingan. Pergerakan Abdoel melawan Belanda membuat Roehana dijauhkan dengan murid-muridnya.
"Jangan-jangan anak gadis kami ditangkap pula karena dia dituduh melawan Belanda," protes warga Kota Gadang.

Pada tahun 1911, organisasi Kerajinan Amai Setia resmi (KAS) didirikan. Tak terbayangkan bagaimana senangnya hati Roehana kala itu setelah sukses mengutarakan maksud organisasi itu. Amai Setia awalnya beranggotakan 60 orang perempuan, istri pemuka adat dan pemuka agama.

"Banyak perempuan yang bernasib buruk. Mereka bekerja sebagai buruh kasar di perkebunan, dibayar dengan upah yang rendah, menjadi mainan mandor dan bangsanya sendiri, menjadi nyai Belanda yang tidak mempunyai hak apapun sebagai istri dan diperbudak suaminya, dan gambaran yang menyedihkan," kata Roehana kala itu.

Setelah sukses mendirikan KAS dan dikenal luas di Kota Gadang, cita-cita Roehana mendirikan sekolah juga terwujud. Sekolah Kerajinan Amai Setia mendapat perhatian dari penduduk dan petinggi Belanda di Kota Gadang.

Roehana menitikberatkan sekolah pada pengajaran ilmu ekonomi bagi perempuan. Di sini Roehana mengangkat harkat perempuan di atas dominasi laki-laki.

"Kemajuan zaman tidak akan pernah membuat kaum perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetap perempuan dan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang berubah, perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakuan yang baik, tidak untuk ditakut-takuti, dibodoh-bodohi, apalagi dianiaya," kata Roehana seperti dikutip dalam buku biografi Roehana Koddoes.

Ciri yang melekat pada pribadi Roehana adalah kebiasaannya membaca surat kabar. Kebiasaan membaca dan menulis dalam catatan harian membawa ia untuk mendirikan surat kabar Soenting Melajoe yang terbit perdana pada 10 Juli 1912. Surat kabar ini merupakan satu-satunya surat kabar khusus untuk perempuan kala itu. 

Soenting Melajoe berdiri berkat dukungan pemimpin redaksi surat kabar Oetoesan Melajoe, Soetan Maharadja yang memahami baik maksud Rohana kala itu. Menurut Firtiyanti, tulisan Roehana di Soenting Melajoe sangat maju ke depan dan menembusa SARA.

"Tahun 1911 itu Roehana sudah mendirikan gedung Amai Setia, sudah menerbitkan surat kabar," tutur Fitriyati.

Badai menerpa Roehana ketika dituduh menyalahgunakan uang KAS. Terlebih adanya tekanan keluarga karena tak juga melahirkan seorang anak, Roehana bersama suami pun memilih keluar dari Kota Gadang ke Bukit Tinggi. Di Bukit Tinggi inilah berdiri Roehana School, di mana murid-muridnya merupakan gadis-gadis remaja yang bersekolah umum.

Menurut Fitriyati, reputasi Roehana School cepat terkenal luas oleh nama Roehana sebagai pemimpin redaksi surat kabar Soenting Melayu. Perjuangan-perjuangan Rohana menggerakkan kaum perempuan berlanjut terus hingga kepindahannya ke Medan setelah ditawari mengajar kepandaian perempuan di Sekolah Dharma Poetra.

Pada tahun 1950, Roehana dan suaminya kembali ke Kota Gadang dengan kondisi suaminya yang sakit-sakitan. Setahun kemudian Abdoel Koddoes meninggal dunia. Di usia senjanya Roehana tidak lagi mengajar dan menulis. Pada tahun 1989, Roehana hijrah ke Jakarta dan meninggal di perantauan pada tahun 1988.

Jasa-jasa Roehana ini membuat Fitriyati bertekad memperjuangkan gelar pahlawan nasional bagi pejuang perempuan itu. Sejauh ini, Roehana menerima penghargaan sebagai Wartawati Pertama Indonesia pada 1974.

Pada Hari Pers Nasional ke-3 pada 9 Februari 1987, Menteri Penerangan Harmoko menganugerahinya gelar Perintis Pers Indonesia. Pada tahun 2008 pemerintah menganugerahkan Roehana dengan Bintang Jasa Utama.

"Kita sudah berusaha dan menemui Mendikbud tapi iya-iya saja. Sebenarnya sudah ada keinginan teman-teman di media sosial agar Roehana digelari Pahlawan Nasional," tandas Fitriyati.

Comments

Popular posts from this blog

Nasib rumah para jenderal korban peristiwa 65

Perjuangan melawan kemiskinan di perbatasan TTU

Gereja Ayam, simbol kebangkitan pribumi