Peti Mati Yang Tak Pernah Mati
Peti-peti mati itu diselimuti debu, berjejer rapi di sebuah toko tua di Jalan Imam Bonjol, Karawaci, Kota Tangerang. Didominasi warna putih dan coklat tua, peti itu dipajang dalam etalase kayu lazimnya barang dagangan. Tak tercium aroma lain selain bau khas kayu di ruangan berukuran sekira 42 meter persegi itu.
Melihat peti mati tentu saja membuat bulu kuduk merinding. Benda berbentuk persegi panjang itu identik dengan alam kubur. Padahal, hampir di kepercayaan tertentu seperti Budha, Konghucu dan Kristen, termasuk Islam, peti mati adalah sebuah kebutuhan sebagai pelengkap tradisi pemakaman. Peti mati tak lagi menyeramkan namun menjanjikan keuntungan, terutama di tengah kehidupan perkotaan yang serba praktis.
Toko Usaha Ibu adalah salah satu dari sekian pedagang peti mati di daerah Tangerang ikut meraup untung. Sang pemilik, Yuliana, 47 tahun bersama suaminya, Harto, menjadikan bagian depan rumahnya sebagai toko peti mati. Pasangan suami istri ini merupakan generasi ketiga di keluarga mereka dan telah melakoni bisnis peti mati puluhan tahun. Menurut Yuliana, usaha peti mati merupakan usaha dari keluarga suaminya sejak puluhan tahun lalu.
"Usaha ini sudah turun temurun, mungkin tepatnya dimulai tahun 1940 dan sekarang turun ke keluarga kami," ujar Yuliana, pemilik Toko Usaha Ibu saat berbincang dengan penulis di kediamannya pekan lalu.
Seiring perkembangan zaman, penjualan peti mati kini sudah menggunakan strategi bisnis lebih modern. Toko Usaha Ibu juga tak sekedar menjual peti mati tetapi dilengkapi dengan paket layanan seperti penyiapan rumah duka, melayani pengiriman jenazah, penyewaan mobil ambulans , krematorium, tanah makam, akte kematian dan angkat jenazah.
Vicielia, 21 tahun, anak Yuliana yang juga ikut membantu usaha kedua orang tuanya mengatakan, untuk sebuah harga peti mati, paling murah Usaha Ibu menjual Rp 1,5 juta. Harga menentukan jenis kayu yang digunakan sebagai bahan pembuatan peti mati.
"Jika peti saja ada yang Rp 1,5 juta dan bisa puluhan juta, tergantung peti-nya dari kayu apa dan paket apa yang mau dipakai. Paling mahal dari kayu jati," ujar Vicielia.
Menjalankan roda bisnis dari tahun ke tahun tentu sudah dipahami betul oleh Yuliana akan adanya persaingan. Dia mengaku dibalik ketatnya persaingan antar pelaku usaha peti mati, Usaha Ibu dijalaninya dengan apa adanya. "Kalau namanya usaha pasti ada persaingan. Kita gak usah takut, jalan aja. Yang penting kita buat untuk semangat, ada yang sirik ya aku biasa aja. Jalan terus. Rejeki setiap orang kan beda-beda," kata Yuliana.
Menurut Vicelia, Usaha Ibu memiliki belasan orang karyawan dengan peran yang berbeda. Ada yang bertugas sebagai sopir ambulans, tukang bersih jenazah di rumah duka, dan lain sebagainya. Dari semua pelayanan ini, mengurus jenazah dari warga Cina berbeda dengan jenazah lainnya.
"Yang paling banyak dipersiapkan adalah jenazah dari keluarga Cina karena tradisinya agak berbeda. Banyak barang yang dipersiapkan sebagai perlengkapan penguburan," kata Vicelia.
Modal Yuliana menjalankan roda bisnis adalah pengalaman yang lama serta membangun jaringan dengan banyak orang. Selain berafiliasi dengan beberapa rumah duka di Tangerang, Yuliana kerap memberikan bonus bagi siapa saja yang menghubungi tokonya untuk keperluan pemakaman seperti peti mati dan perlengkapannya.
"Ibu Yuliana sudah dikenal luas, jaringannya banyak. Dia yang paling banyak memiliki mobil ambulans," kata Jainudin, petugas keamanan di Rumah Duka Bon Tek Bio, Cikokol, Tangerang yang mengaku mengenal baik Yuliana ini.
Bisnis peti mati bisa meraup untung besar, tapi tentu usaha ini tidak mudah. Butuh waktu dan strategi bisnis seperti membangun kepercayaan pada pembeli dan didukung oleh jaringan yang luas. Di luar itu, usaha Yuliana sekeluarga ini tetap dengan cara lama yakni mengandalkan jaringan dan hubungan pertemanan ketimbang menggunakan situs jual beli online
Comments
Post a Comment