Benarkah di era Jokowi PKI bangkit lagi?
Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi orbolan warung kopi hingga topik diskusi dua bulan belakangan ini. Publik dibuat geger, sebab lambang dan atribut PKI beredar luas. Ujungnya, TNI dan Polri pun gencar melakukan sweeping. Semua hal yang berbau PKI dilucuti, bahkan beberapa orang yang terang-terangan menggunakan kaos palu arit digelandang ke kantor polisi. Selain itu, beberapa kali diskusi buku seputar peristiwa 65 di kawasan Jakarta Pusat dilarang dengan alasan tertentu.
Di tengah situasi yang tak enak ini, pemerintah menggagas Simposium Nasional di Hotel Aryaduta selama tiga hari berturut-turut (18-20 April 2016). Presiden Jokowi menunjuk Menkopolhukam Luhut Bisar Pandjaitan untuk memimpin simposium. Semua pihak yang terlibat dalam peristiwa 65 diundang untuk memberikan kesaksian. Jenderal purnawiraman ini berjanji akan menuntaskan masalah 65 dalam pidato pembuka simpsosium.
"Tragedi ini sebagai pintu masuk menyelesaikan lain. Saya undang Agus (Gubernur Lemhanas) ke kantor, bagaimana kita mulai. Agus usulkan simposium ini. Ada reaksi kita dipengaruhi PKI (Partai Komunis Indonesia)," kata Luhut di Hotel Aryaduta, Jakarta, Senin (18/4/2016). Namun, dari pihak purnawiraman tak banyak yang hadir dalam simposiun ini.
Publik berharap akan ada titik terang dalam simposium itu. Namun, di luar dugaan, reaksi keras datang dari para purnawiraman. Mereka bersikeras menolak hasil simposium yang mengarah pada permintaan maaf. Para Jenderal (purn) seperti Menhan Ryamirzad Ryacudu, Kiki Syahnakri dan Kivlan Zein terlihat paling ngotot menolak adanya permintaan maaf. Tak berapa lama digagaslah simposium 'tandingan' Anti-PKI digelar di Balai Kartini Jakarta. Adapun yang hadir adalah para jenderal purnawiraman, Ormas-ormas yang terlibat kala itu, Front Pembela Islam (FPI), dan beberapa pihak lainnya.
Letjen Kiki Syahnakri mengatakan permintaan maaf kepada PKI adalah suatu hal yang omong kosong. Dia beranggapan, jika hal itu dilakukan maka akan muncul persepsi publik jika RPKAD lah (Kopassus sekarang) yang bersalah pada waktu itu. Menurut dia, penyelesaian peristiwa 65 harus dilakukan dalam rangka ke depan, bukan untuk melihat kembali ke belakang. Syarat rekonsiliasi terbuka jika tidak ada permintaan maaf bagi korban PKI.
Hal lain, menurut Kiki, peristiwa 65 adalah konflik horizontal dan yang menjadi korban adalah kedua belah pihak. Adapun operasi militer kala itu adalah upaya penyelamatan agar tidak terjadinya korban yang lebih banyak di dua belah pihak. "Yang menjadi korban itu dari kedua belah pihak. Pasti kalau gak ada operasi masih banyak korban lagi," kata Kiki ketika diwawancarai penulis di Balai Kartini, Jakarta, Selasa (1/6/2016).
Ada apa dengan peristiwa 65?
Dalam literatur sejarah yang berkembang puluhan tahun sejak era Orde Baru, PKI dinyatakan sebagai dalang pembunuhan para jenderal. Reaksi keras kala itu terjadi dengan keluarnya Supersemar (meskipun perdebatan mengenai keaslian Supersemar sebagai perintah Presiden Soekaro terus berlanjut hingga kini) untuk mengamankan situasi. PKI dibubarkan beserta antek-anteknya di seluruh penjuru negeri ini. PKI pun dinyatakan sebagai organisasi terlarang yang tertuang dalam TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966.
Puluhan tahun cerita tentang kekejaman PKI tertanam dalam benak anak muda Indonesia. Baru kemudian setelah rezim Orba runtuh pada tahun 1998 muncul tulisan-tulisan dan kesaksian-kesaksian tentang seputar peristiwa 65. Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965 misalnya, menemukan ratusan kuburan massal di sejumlah daerah di Jawa dan Sumatera.
Dibalik kesaksian sejarah yang tercatat dalam literatur sejarah dan kesaksian pasca Orba ini, masyarakat, khususnya generasi muda yang tidak mengetahui pasti peristiwa itu tentu dibuat bingung. Kesaksian manakah yang benar? Bagaimanakah keadaan yang sebenarnya pada waktu itu? Itulah sekelumit tanya yang seharusnya dijawab tuntas oleh pemerintah agar tidak menjadi beban sejarah bagi generasi penerus.
Jenderal Kiki juga masih tetap dalam pendiriannya. Dia mengatakan tidak ada ketakutan di pihaknya untuk mengungkap peristiwa 65 dari penolakan mereka atas simposium di Aryaduta. "Lho bukan tidak mau diungkapkan. Silakan ungkapkan. Tapi jangan hanya sebelah pihak. Nah, sekarang tau gak kan klaim katanya 15 ribu katanya PKI yang jadi korban, terakhir berapa yang mereka jumlahkan, 13 ribu katanya yang terakhir. Jadi angka itu angka politis. Hati-hati makanya. Dari 15 ribu ke 13 ribu korban emangnya tawar-menawar di Tanah Abang!" tukas Kiki.
Pelurusan sejarah
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah benarkah PKI bangkit lagi atau hanya semacam ketakutan akan peristiwa kelam masa lalu yang belum tuntas diluruskan? Letjen (Purn) Kivlan Zein secara tegas mengatakan simposium nasional yang difasilitasi pemerintah dikhawatirkan menjadi suatu legitimasi akan kebangkitan PKI kembali. Bahkan secara terang-terangan dia mengaku sudah menemukan bukti adanya aktivitas PKI di salah satu tempat di Jakarta Pusat. Jika permintaan maaf dikabulkan pemerintah, hal itu menurut dia akan sangat menguntungkan PKI.
Padahal, para korban eks PKI berharap simposium ini berguna memulihkan hak mereka secara yudisial. Dengannya, hak dan luka mereka di masa lalu tidak lagi menjadi beban tanya terus-menerus tentang sampai kapan sejarah diluruskan. Tentang pengakuan mereka yang di PKI-kan yang ternyata sama sekali tidak terkait dengan PKI.
Tokoh agama Rm Beny Susetyo, dalam kesempatan berbincang dengan penulis beberapa waktu lalu mengatakan, permintaan maaf oleh negara tidak bertujuan untuk mengakui kesalahan RPKAD terhadap eks PKI ataupun sebaliknya. Menurut Rm. Beny, peristiwa 65, bagaiamanapun harus diakui jika negara turut membiarkan terjadinya pembantaian massal pada waktu itu. Permintaan maaf membuka jalan pada rekonsiliasi yang sebenarnya, suatu rekonsiliasi sejati dan tidak menyalahkan siapa-siapa.
"Sebenarnya peristiwa 65 itu kita harus mengakui sisi gelap sejarah kita. Artinya, orang mengatakan sejarah 65 itu adalah kudeta, yang artinya memakan korban masyarakat sipil. Jadi masyarakat sipil korban, korban dari kudeta. Peristiwa 65 menjadi persoalan politik besar karena aktor-aktor yang bermain itu merasa seolah-olah kalau sejarah 65 itu diungkap terkena dirinya," kata Rm. Beny.
"Tanpa pengakuan yang jujur tidak ada rekonsiliasi. Jadi rekonsiliasi itu syaratnya saya tahu, mau dan sadar. Tahu bahwa memang terjadi kesalahan, mau memperbaiki kesalahan itu dan sadar, sadar artinya ya harus direhabilitasi nama baiknya. Sehingga tidak terjadi stigma seperti ini. Jadi peristiwa 65 itu jangan dilihat korbannya tetapi akibatnya bahwa masa lalu itu sampai sekarang mereka jadi orang-orang yang tidak lagi memiliki martabat manusia. Sebab ini pengingkaran terhadap pancasila, yaitu kemanusiaan dan keadilan," lanjut dia.
Harus diakui memang komunisme global sudah jatuh sejak runtuhnya Uni Soviet. Ideologi komunis praksis hanya ada di tiga negara yakni, Rusia, RRC dan Kuba. Dibanding Rusia dan Kuba, RRC secara ideologi tetap mengakuinya, namun dalam sistem ekonomi, negara Tirai Bambu ini sudah sangat kapitaslis. Apakah Indonesia yang sudah demokratis ini bergerak ke komunis? Hanya Tuhan yang tahu.
Comments
Post a Comment