Ini yang dikatakan Pidi Baiq tentang Dilan dan Milea

Pidi Baiq dan wejangan untuk gengster

Bagi kamu yang pernah membaca Novel Milea dan Dilan, tentu nama Pidi Baiq tak asing lagi. Kamu mungkin juga terkagum-kagum oleh gaya kocak Kang Pidiq ketika merangkai kalimat cintanya dalam novel Dilan. Sederhana tapi memikat.

"Aku tidak punya kepentingan apa-apa. Aku tidak mau datang ke Jakarta tapi mereka yang akhirnya datang ke sini," kata Pidi Baiq terkekeh-kekeh. Asap rokok dari lubang hidungnya pun berembus keluar.

Itulah awal perbicangan saya dengan dengan Pidi Baiq, di markas grup motor Excalt to Creativity (XTC). Markas itu terletak di Jalan Ambon, Kota Bandung. Dari percakapan inilah terungkap alasan mengapa dia menolak 'pinangan' beberapa produser film ternama di Jakarta untuk memfilmkan karya-karyanya. Menurut lelaki yang biasa disapa ayah ini, alasan mengapa dia menolak tawaran-tawaran adalah karena tak mau karyanya berbeda dengan hasil nantinya dalam skenario film.


 "Film Indonesia itu bagus-bagus tapi aku gak mau nanti filmnya berbeda dengan karya asli," katanya.

Dari sekian tawaran yang ada termasuk jumlah harga yang lumayan fantastis, Pidi Baiq akhirnya memilih rumah produksi Maxima Pictures. Menurut dia, Maxima Pictures mau menerima syarat darinya yakni adanya keterlibatan kedua belah pihak dalam menggarap novel Dilan. Dia mengatakan, syarat itu termasuk setting film harus diadakan di Bandung sebagaimana latar dalam novel di tahun 1990 an.

"Pihak Maxima mau kerja sama, yang garap dua belah pihak yakni Maxima dan rumah produksi The Panas Dalam," tuturnya.


Alasan Pidi Baiq memang menjadi persoalan usang bagi semua penulis. Tak jarang, setiap novel yang diangkat ke layar lebar akan berbeda hasilnya dengan apa yang dimaksudkan dalam novel atau karya sastra aslinya. Sebab ada hal yang tak bisa diangkat dalam film seperti konflik batin tokoh (sehebat apapun sang figure memerankannya) atau hilangnya proses imajinatif pembaca di mana sang penulis sebenarnya menempatkan karyanya dalam posisi itu.

Namun demikian, tak sedikit pula film-film yang menjadi booming dan berhasil dilayar-lebarkan meski karya aslinya biasa-biasa saja.

Lalu bagaimana penulisan novel Dilan bermula? Menurut lelaki kelahiran Bandung 8 Agustus 1972 ini, proses penulisan Dilan terjadi ketika suatu waktu dia hendak meninggalkan Rusia beberapa tahun lalu. Dalam hati Pidi, dia mengaku kagum akan keindahan Kota Rusia. Namun kekagumannya melebihi keterikatan dia dengan kota kelahirannya, Bandung.

Di kota berjuluk Paris van Java inilah banyak kisah dan hal dialami oleh Pidi Baiq. Dalam paragraf pertama novelnya 'Dilan', Bandung menjadi pembuka dalam tulisannya.

"Seindah-indahnya negeri Rusia dan sebecek-beceknya Bandung, tetap lebih indah Bandung. Karena di sana aku melahirkan rasa," ujarnya sambil tertawa.


Pidi Baiq sama sekali tak menduga novel Dilan akan seheboh sekarang ini. Jangankan mengingat karyanya akan laris-manis, untuk memikirkan karyanya bakal menambah khazanah sastra Indonesia pun tak terlintas dari pikiran ayah dua orang anak ini. Meski novel Dilan sangat digandrungi kawula muda bahkan orang dewasa sekalipun, Pidi mengaku hanya menulis untuk kesenangannya semata.

"Saya tidak pernah berpikir apakah ini laku atau best seller atau bakal menambah khazanah sastra Indonesia. Tidak sama sekali, saya hanya menulis untuk kesenangan," katanya.

Malam pun semakin larut dan perbincangan semakin hangat. Sampailah Pidi sedikit membuka rahasia dibalik cerita novel Dilan yang berlatar tahun 1990 an. Dia mengaku cerita novel Dilan adalah kisah hidup dan percintaan remaja kala itu yang identik dengan dunia remaja dan geng motor. "Mungkin iya yah," tutup Pidi. Tak lama dia pun kemudian pamit untuk masuk ke dalam bilik menjadi ruangannya di markas XTC. "Saya pamit yah, mau lanjut nulis dulu,".

Comments

Popular posts from this blog

Nasib rumah para jenderal korban peristiwa 65

Perjuangan melawan kemiskinan di perbatasan TTU

Gereja Ayam, simbol kebangkitan pribumi