Jurnalis itu tak pernah netral
Ketika menjadi seorang wartawan pemula, penulis (meski saat ini masih tetap merasa sebagai pemula) dan beberapa rekan mendapat pembekalan dari pemimpin redaksi (Pemred). Dalam kesempatan itu, kami dihadapkan dengan hal-hal seputar kaidah jurnaslitik. Salah satu pertanyaan yang dilontarkan adalah, "Apakah seorang wartawan atau jurnaslis itu tidak memihak atau netral?
Tentu pertanyaan ini membuat kami kalang kabut. Tidak pernah terpikir akan muncul pertanyaan yang demikian. Mungkin pernah membaca atau mendapatkannya dalam teori jurnalistik di bangku kuliah. Tapi saat itu kami semua terdiam.
Ragam jawaban kami lontarkan. Semuanya hampir sama. Netral. Sang Pemred tersenyum. Tidak. Jurnalis itu tak pernah netral, kata Sang Pemred. Berita adalah sebuah tulisan yang memihak, sadar atau tidak sadar. Ketika sudah mulai menulis sebuah berita, seorang jurnalis sendirinya sudah memihak. Isi tulisannya tak pernah netral dalam pengertian dia sudah menceburkan diri dalam sebuah kerangka sudut pandang.
Namun demikian, meski 'memihak', seorang jurnalis harus tetap mengedepankan independensi dalam pemberitaannya. Independen berarti beritanya sesuai fakta, sesuai hati nurani, dan tanpa intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers. Dia harus bertanggung jawab dengan isi beritanya yakni untuk kepentingan publik luas.
Pengalaman yang paling dekat dengan penulis adalah ketika meliput di gedung DPR RI. Kala itu suasana politik di tanah air memanas oleh kasus 'Papa Minta Saham'. Penulis, sesuai apa yang didengar dari narasumber, mengolahnya menjadi sebuah berita. Tapi sorenya penulis terkejut. Sebuah media besar memberitakan berita itu sangat berbeda dengan omongan narasumber yang penulis dengar. Komentar narasumber dipotong-potong seolah-olah untuk membenarkan 'opini' yang sedang dibangun oleh media itu. Yah begitulah, media tak pernah lari dari kepentingan, itu yang penulis maknai peristiwa itu kala itu. Atau misalnya komentar narasumber itu sengaja diplintir. Siapa tahu.
Jurnalis di era digital
Sebelum media massa berkembang semasif sekarang ini, ruang opini publik dipengaruhi oleh segelintir koran. Informasi politik, ekonomi, kriminal, peristiwa, dan semua yang terkait dengan kebijakan pemerintah sangat ditentukan oleh pemberitaan jurnalis dari media tersebut.
Jika defenisi berita sebelumnya menceritakan apa yang sudah terjadi, kehadiran media di era digital justru berbalik. Media di era digital bergeser pada hal menginformasikan apa yang sedang terjadi. Ribuan bahkan jutaan berita hadir di ruang publik setiap detiknya. Hampir tak ada lagi jarak antara kejadian yang sedang terjadi dengan telinga dan mata pembaca.
Tapi pertanyaannya adalah apakah berita itu sudah valid? Sudah melalui proses verifikasi? Apakah berita itu sudah benar sesuai kepentingan informasi publik dan tidak memboncengi kepentingan. Sekali lagi, pertanyaan tentang apakah jurnalis itu independen dalam pemberitaannya adalah bahan refleksi yang senantiasa harus dilakukan.
Di era digital ini, semua orang bisa jadi wartawan dengan membangun medianya sendiri. Mulai dari berbentuk portal hingga media besar dengan berbasis com, id, net, co dan sebagainya. Dalam catatan Dewan Pers, saat ini ada sekitar 2.000 media online di Indonesia. Adapun yang sesuai dengan kaidah jurnalistik dan mempunyai kelayakan sebagai perusahaan hanya sekitar 211 media.
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) memperkirakan lebih dari 100.000 wartawan di Indonesia yang belum mengantongi sertifikat kompetensi profesi wartawan. Dari jumlah itu, baru sekitar 20.000 yang mengantongi sertifikat kompetensi, sisanya wartawan alam.
Berita, hidup dan mati jurnalis
Di tengah perjuangan untuk mempertahankan independensi, tantangan yang dihadapi seorang jurnalis adalah kebutuhan hidup. Namun, upah yang diperoleh kadang tidak sebanding dengan resiko kerja yang tak pernah mengenal kata 'gaji lembur'. Standar upah masih berbeda, tergantung media yang menaungi seorang jurnalis. Ada yang tinggi, adapula yang masih rendah. Terkadang miris, tapi itulah kenyataan.
Tapi di atas segalanya, mengabdi pada kepentingan informasi publik, membangun negara dengan pemberitaan adalah sebuah misi mulia dari kerja seorang jurnalis. Seorang kawan mengatakan, jangan pernah mimpi menjadi kaya menjadi jurnalis. Terus berkarya, meski 'memihak' asal tetap independen.
Comments
Post a Comment