'Pembelotan' Anies Baswedan dan politik Machiavelli
Selepas tak lagi menjabat Mendikbud, Anies Baswedan kini menjajaki babak baru. Di Pilgub DKI Jakarta 2017, bersama Sandiaga Uno sebagai wakilnya, dia resmi diusung sebagai cagub dari Koalisi Gerindra-PKS.
Sedikit mengejutkan pilihan Prabowo ini. Mantan Rektor Univeristas Paramadina ini adalah 'musuh' lamanya di Pilpres 2014. Anies merupakan jubir Jokowi-Jusuf Kalla. Kala itu dia menyebut Prabowo-Hatta adalah kumpulkan mafia.
Saat menjadi tim sukses Jokowi-JK (yang diusung PDIP), Anies kerap melontarkan kritik pedas kepada pasangan Prabowo-Hatta. Bahkan, Anies mengkritik tajam visi-misi Prabowo-Hatta di beberapa kesempatan. Anies menuding program Prabowo-Hatta banyak yang hampir sama dengan visi misi Jokowi-JK.
Tak ada musuh ataupun sahabat abadi dalam politik. Hari ini kawan, besok jadi lawan. Begitupun sebaliknya. Dan itu terjadi dalam diri Anies. Dulu menjadi lawan Prabowo, kini menjadi sekutu politik. Dulu menjadi kawan PDIP, sekarang menjadi lawan di Pilgub DKI 2017.
Bergabungnya Anies ke kubu Prabowo mengingatkan kita pada defenisi politik Machiavelli. Politik demi kekuasaan. Dalam Il Principe (Sang Penguasa), Machiavelli menulis kiat mencapai dan mempertahankan kekuasaan. Cara-cara yang dipakai, tulis Machiavelli dalam risalah politiknya itu yakni menggunakan kebengisan, pengkhianatan, kekejaman demi meraih kekuasaan.
Bagi Machiavelli, hal lain seperti agama dan moralitas, yang kerap dikaitkan dengan politik sesungguhnya tidak memiliki hubungan mendasar dengan politik. Kecuali, kata Machiavelli, agama dan moral tersebut membantu untuk mendapat dan mempertahankan politik. Keahlian yang dibutuhkan untuk mendapat dan melestarikan kekuasaan adalah perhitungan. Seorang politikus mengetahui dengan benar apa yang harus dilakukan atau apa yang harus dikatakan dalam setiap situasi.
Dalam Il Principe, Machiavelli menasehatkan para penguasa untuk memiliki sifat-sifat rubah (fox) dan singa (lion). Rubah adalah hewan yang cerdik dan lincah. Indera penciumannya tajam dalam mendeteksi jebakan terhadap dirinya. Untuk menghindari para pengkhianat, seorang penguasa harus pandai seperti rubah, agar tidak terjebak oleh musuh-musuhnya.
Penguasa bisa menghindari jebakan dengan cara-cara yang halus. Kalau cara rubah tidak efektif, maka ‘cara singa’ bisa dilakukan. Seorang penguasa jangan segan-segan untuk menggunakan ‘tangan besi’, kekerasan, kekejaman (penyiksaan dan pembunuhan) untuk menaklukkan lawan-lawan politiknya.
Namun, Machiavelli juga menyarankan agar sebisa mungkin ‘cara singa’ dihindari. Akan jauh lebih baik bagi penguasa untuk ‘merebut hati’ rakyat atau lawan-lawan politiknya. Inilah yang disebut prinsip Utilitarisme dan Realisme menurut Machiavelli.
Apakah Anies memakai cara Machiavelli? Sadar jika tak 'dibutuhkan' lagi oleh Jokowi, Anies dalam jargon politiknya 'demi rakyat Jakarta' tentu sadar akan pilihannya merapat ke kubu Prabowo. Dia 'membelot' demi mencapai kekuasaan yaitu menjadi gubernur di DKI. Dengan kekuasaan inilah dia bisa mewujudkan cita-citanya bagi Jakarta.
Anies adalah tipikal politikus Utilitarian. Dia tahu apa yang berguna dan bermanfaat untuk dirinya. Dia sepenuhnya sadar, balas jasanya oleh Jokowi sudah terpenuhi kala menjabat Mendikbud.
Pula tak ada hitam di atas putih yang mengharuskan Anies bersumpah setia kepada PDIP (dan Jokowi) yang kini kembali mendukung petahana Basuki T Purnama dan Djarot Syaiful Hidayat. Anies bukan petugas partai. Anies adalah politikus yang tahu baca kesempatan. Menerima tawaran Gerindra-PKS adalah kesempatan yang baik untuknya.
Nama Anies tentu menjadi suatu pilihan yang beresiko bagi Prabowo. Takut-takut dia akan merapat lagi ke kubu PDI P suatu saat. Hanya Prabowo yang tahu untung dan ruginya. Dan rumah pribadi di jalan Kertanegara lah saksinya.
Comments
Post a Comment