Ahok dan ayat suci kita
Kehebohan Surat Al Maidah 51 yang dikutip Basuki T Purnama (Ahok) di Kepulauan Seribu menjadi polemik yang berkelanjutan di medsos, termasuk aksi penolakan sejumlah pihak dengan dalil penistaan agama. Saya berpikir, reaksi itu wajar-wajar saja, mengingat, jujur, agama masih menjadi isu sensitif di Indonesia.
Mungkin juga Ahok salah. Karena dia, walaupun mengklaim mengerti sedikit ajaran Islam, tapi sebagai non-Islam, harus memposisikan dirinya di luar otoritas untuk mengutip atau menafsir ayat tersebut. Menafsir tanpa terlibat secara iman hanya akan membawa polemik, terlepas cara pandang orang, terlebih umat Muslim yang mengimaninya.
Di luar polemik pengutipan ayat yang dilakukan Ahok, hemat saya, pengutipan ayat suci kerap dilakukan bukan pada tempat dan tujuan yang sebenarnya. Sudah tak jarang ayat suci dipakai demi menghalalkan segala cara manusiawi. Itu bahkan terjadi di kalangan Kristen juga.
Senada dengan kutipan atas surat Al Maidah 51 tersebut, Ahok juga mengingatkan jemaat Kristen yang kerap rajin ke gereja atau mengutip ayat Injil entah itu dalam percakapan, tautan di Facebook, atau sharing di grup Watshapp dan sebagainya. Ayat itu kita kutip seolah-olah kita paling tahu dan benar-benar membawanya dalam kehidupan sehari-hari tapi korupsi di mana-mana. Hanya sayangnya, Ahok lupa atau sengaja tidak mengutip salah satu ayat Injil. Jika saja dia tidak mengutip salah satu ayat, mungkin jagat medsos tidak sehebat ini gaduhnya.
Dalam tradisi Kristen, jauh-jauh hari Yesus sudah mengecam keras kaum berjubah atau mereka yang kerap berlindung dibalik ayat dan kitab suci. Dalam Injil Matius 23:13-22, Yesus mengkritik keras ahli Taurat (ahli Kitab Suci Yahudi) dan orang Farisi. Dua kelompok ini merupakan golongan dan tokoh agama terkemuka di zaman itu.
Ahli Taurat tahu banyak mengenai hukum dan aturan agama yang mesti diindahkan dan ditaati oleh masyrakat Yahudi. Kaum Farisi selain menaati aturan dan hukum agama, masih memelihara tradisi dan berusaha untuk melaksanakannya secara teliti, tidak boleh melalaikan satu aturan atau adat kebiasaan pun. Karena kedua kelompok ini hidup ekslusif, bahkan cenderung tidak jujur dengan dirinya sendiri.
Kerap tampil agamawis, kelihatan paling suci dan mengerti Hukum Taurat dan tradisi, golongan Ahli Taurat dan orang Farisi dikecam Yesus dengan menggunakan kata 'celakalah'. Yesus tahu baik hati mereka. Berkedok dan penuh kepalsuan.
Kembali ke konteks polemik yang disebabkan surat Al Maidah 51 di atas, apa yang dikatakan Ahok sebenarnya suatu kritik sosial. Saya dan mungkin juga Anda, kerap masuk dalam percobaan ini.
Kenapa agama selalu sensitif?
Ketika polemik Ahok memanas, tiba-tiba muncul gambar salib di Masjid Al Fatah, Mampang, Prapatan, Jakarta Selatan. Tentu hal itu bisa saja memanas-manaskan suasana. Dan begitu mudahnya orang-orang terprovokasi tanpa mengambil waktu untuk berpikir lebih dalam tentang polemik ini. Maksud saya, biarkan kasus Ahok diselesaikan di kepolisian toh laporan sudah dilayangkan.
Apa yang diingatkan Charles Kimball tentang agama dalam bukunya, When Religion Becomes Evil (2003) memang kadang nyata. Menurutnya, ketika dipersepsi, dipahami, dan dipraktekan dengan cara yang salah, agama memiliki potensi untuk menjelma menjadi iblis yang menebarkan angkara murka.
Agama bukan lagi sesuatu yang diyakini manusia sebagai garda depan penjaga ketertiban di muka bumi. Sebaliknya agama justru memunculkan polemik, kericuhan, dan pertikaian di antara umat manusia. Agama bukan tentang pengakuan yang lain dalam wajah dan cara yang berbeda (inklusif). Agama justru melahirkan tirani, pengekangan dan klaim kebenaran yang absolut.
Era klaim kebenaran agama sebagai satu-satunya sumber keselamatan akhirat sebenarnya pernah dilalui Gereja Kristen (Katolik). Misi gereja pun kala itu sebatas menobatkan orang kafir untuk menjadi Kristen (pengikut Kristus). Lalu pernyataan atau dogma tentang keselamatan hanya melalui gereja atau di luar gereja tidak ada keselamatan (Extra Ecclesiam nulla salus) lambat laun direfleksikan kembali. Gereja akhirnya menjadi sebuah lembaga inkusif, menerima keberadaan iman yang lain.
Meskipun sudah berbenah, tapi masih ada cara pandang ini, terlebih bagi jemaat Kristen yang secara akademis/pastoral belum mendapat atau mendengar hal ini. Maka tidak salah jika cara pandang eksklusif masih tetap bertahan dalam benak dan kadang dalam praksisnya.
Pemisahan agama dan negara
Di Eropa, dalam waktu sekian lama gereja mencampuri urusan negara. Kebangkitan intelektualisme Eropa (renaisance) yang ditandai Revolusi Perancis menjadi momentum pemisahan itu sendiri. Gereja berbenah sebagai lembaga moral dan hanya menyangkut urusan warga negara dan Tuhannya, lalu negara berjalan dengan aturan dan kaidahnya (meski kemudian lahir paham liberalisme).
Apakah gereja Kristen runtuh karena kebangkitan dan perpisahan dengan negara itu? Tidak. Meski paham liberalisme semakin meluas, gereja senantiasa hadir sebagai lembaga yang mendorong umat manusia (orang Kristen) untuk selalu ingat akan ajaran dan hidup sesuai ajaran imannya. Meski berpisah, agama tetap berperan dalam negara, sebagai penengah, pengkritik dan jalan yang membawa manusia kembali ke asalnya (homo religius). Agama (gereja) juga tidak menarik diri dari perkembangan zaman tapi juga terlibat di dalamnya (agiornamento).
Saya yakin, isu agama hanyalah kemasan politik belaka jelang Pilkada DKI. Aktor di belakangannya sungguh tidak berpikir jernih tentang resiko politisasi agama. Di masyarakat akar rumput, dalam kehidupan sehari-hari perbedaan karena agama justru sudah sangat cair.
Pula keberagaman itu harus senantiasa kita pupuk. Lebih indah hidup bersama sebagai saudara, ketimbang mempersoalkan perbedaan yang sudah terberi (a given) sejak lahir itu. Agama harus melahirkan kesejukan, bukan iblis yang menakutkan.
coba anda memeberikan tolak pikir yang baik dengan berposisi pada ide atau subsanti saja. Saya kurang mengerti apa maksud dari opini ini.
ReplyDelete