Cerita dibalik raibnya dokumen asli pembunuhan Munir
"Kasus Munir belum berhenti," pekik Direktur Imparsial Al Araf di kantor Imparsial, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (27/10). Disampingnya, dua mantan anggota Tim Pencari Fakta, Hendardi dan Amiruddin Al Rahab ikut mengamini.
Mereka mendesak agar Presiden Jokowi segera menemukan dokumen yang tidak jelas keberadaannya saat ini. Adapun dokumen itu sudah diserahkan kepada mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara beberapa tahun silam.
Raibnya dokumen Munir ini seolah menjadi babak baru dalam kasus ini. Setelah diserahkan kepada SBY akhir Juni 2015, segenap aktivis pembela Munir dan mantan anggota TPF terus menuntut adanya 'kejujuran' dan niat baik pemerintah untuk membuka tabir. Sesuai Keppres No. 11 tahun 2004, pemerintah punya kewajiban untuk mengungkap hal itu kepada publik.
"Kita bekerja berdasarkan Keppres itu. Di situ diatur jika pemerintah akan mengungkapnya ke publik," kata mantan anggota TPF, Hendardi di kantor Setara Insitute, Jl. Hang Lekiu, Jakarta Selatan beberapa waktu lalu.
Tim Pencari Fakta ini dibentuk oleh SBY setelah adanya desakan dari masyarakat untuk mengungkap kasus pembunuhan Munir. Instruksinya jelas yakni membantu Polri. Adapun anggota TPF ini berasal dari Polri, Kejaksaan, dan LSM. Sesuai Keppres No. 11 tahun 2004 mereka bekerja selama tiga bulan baru kemudian diperpanjang untuk tiga bulan berikutnya.
Dalam perjalanannya, kata Hendardi, ada beberapa orang yang memilih mundur yakni Bambang Widjojanto dan Tobing Mulia Lubis. "Saya kurang tahu mengapa mereka akhirnya mundur," ceritanya.
Tiga bulan pertama bekerja, TPF dihadang oleh pelbagai kesulitan. Di antaranya sulit untuk mendapatkan data-data di instusi-instusi terkait seperti Badan Intelijen Negara (BIN), kesulitan mewawancarai 'orang kuat' di BIN, pejabat-pejabat negara dan sebagainya. Baru setelah TPF mengeluhkan hal itu kepada SBY, mereka akhirnya bisa memproleh akses dan mendapatan temuan-temuan baru.
"Tetapi sampai masa kerja TPF itu, boleh dikatakan untuk dokumen-dokumen kami tidak memiliki akses. Ditutup. Dan kemudian juga pada periode tiga bulan berikutnya, baru kami memperoleh akses untuk memeriksa misalnya anggota BIN," jelas Hendardi.
SBY menerima dokumen Munir tanpa berita acara
Setelah merampungkan tugas selama enam bulan bekerja, TPF melaporkan temuan itu kepada SBY. Seingat mantan Ketua TPF Marsudhi Hanafi, saat itu SBY didampingi mantan Jaksa Agung Abdurahman Saleh, mantan Kapolri Dai Bachtiar, mantan Seskab Sudi Silalahi, mantan Menkum HAM Yusril Ihza Mahendra, mantan Juru Bicara Kepresidenan Andi Malaranggeng.
Dari TPF sendiri hadir Marsudhi Hanafi, (alm) Asmara Nababan, Hendardi, Rachland Nashidik, Usman Hamid, Kamala Tjandrakirana dan sebagainya. Menurut Marsudhi, mereka menyerahkan enam bundelan dokumen yang diserahkan langsung kepada SBY. Diakui Hanafi, tak ada pembicaraan khusus selama pertemuan itu selain memberikan hasil kerja mereka.
"Kita laporan, bawa bundel, enam salinan. Saya bacakan resumennya, laporan. "Pak hasilnya ini. Ini resminya saja,". Beliau menanggapi terima kasih atas kerja keras. Kita cuma omong laporannya saja. Nggak lama kok. Antara 15-30 menit," cerita Marsudhi belum lama ini.
Marsudhi tidak ingat jelas siapa-siapa saja yang menerima dokumen asli yang diserahkan TPF. Mantan anggota TPF Usman Hamid diyakininya yang menyerahkan semua dokumen. Tak lama sesudah pertemuan mereka dipersilahkan SBY untuk mengadakan konfrensi pers di lingkungan istana.
"Usman Hamid yang pegang dan ditinggalkan di situ dan kita keluar semua. Di situ hanya ada orang istana. Yusril, Andi Malaranggeng, nah kabinet itu. Yang jelas kapolri dapat satu. Saya tahu persis karena beliau kan menindaklanjuti," tutur Marsudhi.
Setelah pertemuan singkat itu, SBY kembali ke ruangannya. Dia tidak ikut mengadakan konferensi pers. Adapun isi pertemuan anggota TPF dan SBY terkait penyerahan dokumen itu kepada media hanya diwakili oleh Andi Malaranggeng dan Sudi Silalahi.
Dalam konferensi pers itu, Marsudhi mengungkapkan batas hak mereka untuk tidak mengungkap secara sepihak kepada publik. Dan sesuai Keppres No.11 tahun 2004, kata dia, hanya tertulis kewajiban ada di pihak pemerintah.
"Saya menjelaskan bagaimana perjumpaan. Isi dokumen tidak. Saya tidak punya hak. Dalam Keppres, kewajiban menyampaikan adalah pemerintah," ceritanya.
Dokumen sengaja dihilangkan?
Hendardi menampik keras jika dokumen yang sudah diserahkan kepada SBY itu raib. Alasannya adalah adanya tim baru yang dibentuk SBY setelah TPF bekerja. Menurut dia, ditangkapnya Pollycarpus merupakan berkat rekomendasi dari TPF. Pula, lanjut dia dokumen itu dibuat secara cermat oleh TPF untuk menghindari segala kemungkinan yang buruk. Dokumen diketik dan diprint serta setiap kata diberi penomoran.
"Makanya saya bilang enak-enak saja dibilang hilang. Konyol-konyol saja dibilang hilang. Dan gak ada hilang itu. Tipu-tipu saja kalau hilang, kan logikanya perkara sudah berjalan mana mungkin barangnya hilang," jelas dia.
Hal yang sama diungkap Marsudhi. Semua dokumen yang diserahkan TPF kepada SBY merupakan salinan asli. "Yang jelas dokumen yang kita serahkan, enam-enamnya asli. yang diserahkan enam dokumen ke Jaksa Agung, Kepolisian, Menkum HAM, Mensesneg, ya kira-kira itu," jelasnya.
Jika sesuai janji SBY untuk mengungkap isi dokumen ke publik, seharusnya sudah dilakukan jauh-jauh hari. Tapi hingga saat ini hal itu belum terwujudkan. Bahkan hingga di akhir masa tugas SBY dan masuk ke ara Jokowi, isi dokumen tetap menjadi misteri.
Menurut Hendardi, Pollycarpus Budihari Priyanto hanyalah aktor lapangangan yang bertugas untuk menghilangkan nyawa Munir Said Thalib. Di atas pesawat yang menerbangkan Munir ke Belanda 7 September 2004, dia hanya berlaku sebagai eksekutor.
Hendardi mengatakan, selain Pollycarpus, diduga ada level-level lain yang perlu mendapat penyelidikan lebih lanjut. Mereka itu yakni aktor lapangan, aktor pembantu atau yang memfasilitasi, aktor perencana, dan juga pengambil keputusan. Temuan itu didapatkan TPF selama enam bulan bekerja. Namun, lanjut Hendardi, karena TPF bekerja secara non-projusticia, temuan dalam dokumen itu hanya bersifat rekomendasi.
TPF merekomendasikan agar presiden membentuk tim baru dengan mandar dan kewenangan yang lebih kuat. Tujuannya agar bisa menembus dinding kokoh BIN dalam upaya pencarian informasi. Rekomendasi lain, Presiden diminta memerintahkan Kapolri melakukan penyelidikan mendalam terhadap Indra Setiawan (mantan Dirut Garuda Indonesia), Ramelgia Anwar, AM Hendropriyono (Kepala BIN), Muchdi PR (Deputi V BIN), dan Bambang Irawan (agen BIN) terkait kemungkinan peran mereka dalam pemufakatan jahat pembunuhan Munir.
"Setidaknya ada empat level yang mesti dijangkau penyidik. Tapi mentok-mentok kan. Memeriksa Muhdi tapi kemudian lepas dari pengadilan. Jadi karena apa. Ini Karena politik," jelas dia.
Adapun hambatan politis kasus ini menurut dia terlihat ketika tidak terlaksananya rekomendasi TPF oleh SBY. Sebab, begitu dokumen diserahkan kepada SBY, TPF meminta untuk dibentuknya tim baru yang lebih kredibel dan diperkuat kewenangannya. Tapi kemudian SBY nyatanya hanya menginstruksikan Polri berdasarkan laporan TPF. Hasilnya baru mencapai Pollycarpus dan Muchdi Pr yang kemudian dinyatakan tidak bersalah.
"Sampai sekarang belum diproses lebih lanjut. Dan polisi hanya selidiki Pollycarpus. Padahal ada aktor di 4 level berbeda. Kenapa hanya dia, ya kembali itu soal politis. Dekat dengan rezim sekarang. Ada posisi tawar kuat bagi mereka untuk tidak diselidiki," kata Hendardi.
Pendapat yang sedikit berbeda datang dari Marsudhi. Menurut dia, ketentuan Keppres No. 11 tahun 2004 untuk mengumumkan ke publik sudah dilaksanakan oleh pemerintah saat itu. Hal itu dilakukan setelah Pollycarpus dijebloskan ke penjara dan adanya upaya pemeriksaan terhadap Muchdi dan sebagainya.
"Sebenarnya ada yang ditangkap lalu divonis, itu sebenarnya sudah pengumuman. Apalagi yang mesti diumumkan? langsung penindakan. Ya memang dalam Keppres bunyinya pemerintah wajib menyampaikan hasil itu," jelas Marsudhi pekan lalu.
Lain halnya dengan mantan Kepala BIN, AM Hendropriyono yang belakangan disebut-sebut terlibat kuat dalam kasus ini. Menurut dia, dalam penyelidikan TPF, AM Hendropriyono tidak ditemukan terlibat. Namun, lanjut dia, tidak menutup kemungkinan jika ada bukti baru untuk memeriksanya suatu saat oleh kepolisian.
"Saat itu, Hendropriyono tidak terbukti terlibat. Ingat ya, saat itu lho ya tidak terbukti. Kalau saat sekarang ada bukti ya terserah, kan bisa berkembang ada novum, berita baru. Karena namanya kan sudah kita data mengarah ke sana," tegas Hanafi.
Hingga rezim SBY berakhir dan berganti pemerintahan baru, aktor intelektual pemufakatan jahat pembunuhan Munir belum terungkap. Wajar saja jika pemerintahan Jokowi didesak kembali membuka temuan TPF dan menindaklanjutinya. Tapi pemerintah berdalih dokumen laporan akhir temuan TPF tidak tersimpan di istana negara, sehingga belum bisa ditindaklanjuti. Bola panas kembali dilempar ke pemerintahan SBY.
Sudi Silalahi mengakui, naskah laporan akhir TPF Munir hingga saat ini sedang ditelusuri keberadaannya. Sebelum pemerintah SBY berakhir, dokumen-dokumen negara yang penting sudah diseleksi, dikumpulkan lalu diserahkan kepada lembaga kepresidenan dan Arsip Nasional Republik Indonesia. Tapi Sudi tidak ingat betul apakah laporan akhir TPF Munir ada di salah satu dokumen itu.
Saat mantan pejabat pemerintahan SBY sibuk mencari keberadaan dokumen itu, ada yang mengirimkan fotokopi naskah yang dimaksud. SBY dan anak buahnya langsung melakukan kesesuaian dan otentifikasi dokumen tersebut. SBY memanggil Marsudhi ke kediamannya di Cikeas, Bogor, Senin (24/10).
"Untuk memastikan dokumen, saya secara moral harus bertanggungjawab juga. Ada anggota kabinet. Sebelumnya mungkin mereka rapat dulu, lalu mungkin mereka merasa perlu panggil saya. Jadi saya hadir," kata Marsudhi.
Dia mulai menjelaskan pada SBY seluk beluk laporan tersebut. Laporan itu dipastikan tidak mengalami perubahan atau penyuntingan dalam bentuk apapun. Tidak ada yang ditambah atau dikurangi. Marsudhi yakin isi dokumen itu sesuai yang diserahkan pada SBY lebih dari 10 tahun lalu. Dia yakin tidak ada unsur kesengajaan dari peristiwa hilangnya dokumen laporan akhir TPF.
"Untuk kepentingan apa dia (SBY) hilangkan itu? tidak ada. Kalau perlu dan tidak melanggar aturan, dia bagi-bagikan itu. Enggak masuk akal dibilang menghilangkan," ucap Marsudhi.
Kritik keras datang dari Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf menyatakan dokumen asli Tim Pencari Fakta (TPF) kasus kematian Munir bisa jadi sengaja dihilangkan. Sebab, pembunuhan Munir merupakan pembunuhan politik yang melibatkan operasi bersifat rahasia, terencana, dan bersekongkol. Menurut Al Araf, kemungkinan ini diduga lantaran ada kekuatan yang memiliki keahlian khusus agar penyelesaian kasus Munir disetop permanen.
"Menyelesaikan kasus Munir tidak ada kendati sehingga kemudian mereka berdalih dengan cara dokumennya enggak ada dengan harapan dokumen hilang sehingga tidak ada proses hukum dan sebagainya. Itu bisa jadi," katanya dalam konferensi pers di Kantor Imparsial, kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (27/10).
"Keterangan dari mantan Seskab era SBY, Sudi Silalahi menyebutkan bahwa rekomendasi TPF telah dijalankan oleh SBY, adalah pernyataan yang tidak benar," katanya.
Dia mengatakan, kasus pembunuhan Munir ini hanya baru menindak pelaku di lapangan. Sementara otak intelektualnya sama sekali belum tersentuh hukum.
Tulisan ini merupakan bagian dari laporan khusus saya di merdeka.com
Mereka mendesak agar Presiden Jokowi segera menemukan dokumen yang tidak jelas keberadaannya saat ini. Adapun dokumen itu sudah diserahkan kepada mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara beberapa tahun silam.
Raibnya dokumen Munir ini seolah menjadi babak baru dalam kasus ini. Setelah diserahkan kepada SBY akhir Juni 2015, segenap aktivis pembela Munir dan mantan anggota TPF terus menuntut adanya 'kejujuran' dan niat baik pemerintah untuk membuka tabir. Sesuai Keppres No. 11 tahun 2004, pemerintah punya kewajiban untuk mengungkap hal itu kepada publik.
"Kita bekerja berdasarkan Keppres itu. Di situ diatur jika pemerintah akan mengungkapnya ke publik," kata mantan anggota TPF, Hendardi di kantor Setara Insitute, Jl. Hang Lekiu, Jakarta Selatan beberapa waktu lalu.
Tim Pencari Fakta ini dibentuk oleh SBY setelah adanya desakan dari masyarakat untuk mengungkap kasus pembunuhan Munir. Instruksinya jelas yakni membantu Polri. Adapun anggota TPF ini berasal dari Polri, Kejaksaan, dan LSM. Sesuai Keppres No. 11 tahun 2004 mereka bekerja selama tiga bulan baru kemudian diperpanjang untuk tiga bulan berikutnya.
Dalam perjalanannya, kata Hendardi, ada beberapa orang yang memilih mundur yakni Bambang Widjojanto dan Tobing Mulia Lubis. "Saya kurang tahu mengapa mereka akhirnya mundur," ceritanya.
Tiga bulan pertama bekerja, TPF dihadang oleh pelbagai kesulitan. Di antaranya sulit untuk mendapatkan data-data di instusi-instusi terkait seperti Badan Intelijen Negara (BIN), kesulitan mewawancarai 'orang kuat' di BIN, pejabat-pejabat negara dan sebagainya. Baru setelah TPF mengeluhkan hal itu kepada SBY, mereka akhirnya bisa memproleh akses dan mendapatan temuan-temuan baru.
"Tetapi sampai masa kerja TPF itu, boleh dikatakan untuk dokumen-dokumen kami tidak memiliki akses. Ditutup. Dan kemudian juga pada periode tiga bulan berikutnya, baru kami memperoleh akses untuk memeriksa misalnya anggota BIN," jelas Hendardi.
SBY menerima dokumen Munir tanpa berita acara
Setelah merampungkan tugas selama enam bulan bekerja, TPF melaporkan temuan itu kepada SBY. Seingat mantan Ketua TPF Marsudhi Hanafi, saat itu SBY didampingi mantan Jaksa Agung Abdurahman Saleh, mantan Kapolri Dai Bachtiar, mantan Seskab Sudi Silalahi, mantan Menkum HAM Yusril Ihza Mahendra, mantan Juru Bicara Kepresidenan Andi Malaranggeng.
Dari TPF sendiri hadir Marsudhi Hanafi, (alm) Asmara Nababan, Hendardi, Rachland Nashidik, Usman Hamid, Kamala Tjandrakirana dan sebagainya. Menurut Marsudhi, mereka menyerahkan enam bundelan dokumen yang diserahkan langsung kepada SBY. Diakui Hanafi, tak ada pembicaraan khusus selama pertemuan itu selain memberikan hasil kerja mereka.
"Kita laporan, bawa bundel, enam salinan. Saya bacakan resumennya, laporan. "Pak hasilnya ini. Ini resminya saja,". Beliau menanggapi terima kasih atas kerja keras. Kita cuma omong laporannya saja. Nggak lama kok. Antara 15-30 menit," cerita Marsudhi belum lama ini.
Marsudhi tidak ingat jelas siapa-siapa saja yang menerima dokumen asli yang diserahkan TPF. Mantan anggota TPF Usman Hamid diyakininya yang menyerahkan semua dokumen. Tak lama sesudah pertemuan mereka dipersilahkan SBY untuk mengadakan konfrensi pers di lingkungan istana.
"Usman Hamid yang pegang dan ditinggalkan di situ dan kita keluar semua. Di situ hanya ada orang istana. Yusril, Andi Malaranggeng, nah kabinet itu. Yang jelas kapolri dapat satu. Saya tahu persis karena beliau kan menindaklanjuti," tutur Marsudhi.
Setelah pertemuan singkat itu, SBY kembali ke ruangannya. Dia tidak ikut mengadakan konferensi pers. Adapun isi pertemuan anggota TPF dan SBY terkait penyerahan dokumen itu kepada media hanya diwakili oleh Andi Malaranggeng dan Sudi Silalahi.
Dalam konferensi pers itu, Marsudhi mengungkapkan batas hak mereka untuk tidak mengungkap secara sepihak kepada publik. Dan sesuai Keppres No.11 tahun 2004, kata dia, hanya tertulis kewajiban ada di pihak pemerintah.
"Saya menjelaskan bagaimana perjumpaan. Isi dokumen tidak. Saya tidak punya hak. Dalam Keppres, kewajiban menyampaikan adalah pemerintah," ceritanya.
Dokumen sengaja dihilangkan?
Hendardi menampik keras jika dokumen yang sudah diserahkan kepada SBY itu raib. Alasannya adalah adanya tim baru yang dibentuk SBY setelah TPF bekerja. Menurut dia, ditangkapnya Pollycarpus merupakan berkat rekomendasi dari TPF. Pula, lanjut dia dokumen itu dibuat secara cermat oleh TPF untuk menghindari segala kemungkinan yang buruk. Dokumen diketik dan diprint serta setiap kata diberi penomoran.
"Makanya saya bilang enak-enak saja dibilang hilang. Konyol-konyol saja dibilang hilang. Dan gak ada hilang itu. Tipu-tipu saja kalau hilang, kan logikanya perkara sudah berjalan mana mungkin barangnya hilang," jelas dia.
Hal yang sama diungkap Marsudhi. Semua dokumen yang diserahkan TPF kepada SBY merupakan salinan asli. "Yang jelas dokumen yang kita serahkan, enam-enamnya asli. yang diserahkan enam dokumen ke Jaksa Agung, Kepolisian, Menkum HAM, Mensesneg, ya kira-kira itu," jelasnya.
Jika sesuai janji SBY untuk mengungkap isi dokumen ke publik, seharusnya sudah dilakukan jauh-jauh hari. Tapi hingga saat ini hal itu belum terwujudkan. Bahkan hingga di akhir masa tugas SBY dan masuk ke ara Jokowi, isi dokumen tetap menjadi misteri.
Menurut Hendardi, Pollycarpus Budihari Priyanto hanyalah aktor lapangangan yang bertugas untuk menghilangkan nyawa Munir Said Thalib. Di atas pesawat yang menerbangkan Munir ke Belanda 7 September 2004, dia hanya berlaku sebagai eksekutor.
Hendardi mengatakan, selain Pollycarpus, diduga ada level-level lain yang perlu mendapat penyelidikan lebih lanjut. Mereka itu yakni aktor lapangan, aktor pembantu atau yang memfasilitasi, aktor perencana, dan juga pengambil keputusan. Temuan itu didapatkan TPF selama enam bulan bekerja. Namun, lanjut Hendardi, karena TPF bekerja secara non-projusticia, temuan dalam dokumen itu hanya bersifat rekomendasi.
TPF merekomendasikan agar presiden membentuk tim baru dengan mandar dan kewenangan yang lebih kuat. Tujuannya agar bisa menembus dinding kokoh BIN dalam upaya pencarian informasi. Rekomendasi lain, Presiden diminta memerintahkan Kapolri melakukan penyelidikan mendalam terhadap Indra Setiawan (mantan Dirut Garuda Indonesia), Ramelgia Anwar, AM Hendropriyono (Kepala BIN), Muchdi PR (Deputi V BIN), dan Bambang Irawan (agen BIN) terkait kemungkinan peran mereka dalam pemufakatan jahat pembunuhan Munir.
"Setidaknya ada empat level yang mesti dijangkau penyidik. Tapi mentok-mentok kan. Memeriksa Muhdi tapi kemudian lepas dari pengadilan. Jadi karena apa. Ini Karena politik," jelas dia.
Adapun hambatan politis kasus ini menurut dia terlihat ketika tidak terlaksananya rekomendasi TPF oleh SBY. Sebab, begitu dokumen diserahkan kepada SBY, TPF meminta untuk dibentuknya tim baru yang lebih kredibel dan diperkuat kewenangannya. Tapi kemudian SBY nyatanya hanya menginstruksikan Polri berdasarkan laporan TPF. Hasilnya baru mencapai Pollycarpus dan Muchdi Pr yang kemudian dinyatakan tidak bersalah.
"Sampai sekarang belum diproses lebih lanjut. Dan polisi hanya selidiki Pollycarpus. Padahal ada aktor di 4 level berbeda. Kenapa hanya dia, ya kembali itu soal politis. Dekat dengan rezim sekarang. Ada posisi tawar kuat bagi mereka untuk tidak diselidiki," kata Hendardi.
Pendapat yang sedikit berbeda datang dari Marsudhi. Menurut dia, ketentuan Keppres No. 11 tahun 2004 untuk mengumumkan ke publik sudah dilaksanakan oleh pemerintah saat itu. Hal itu dilakukan setelah Pollycarpus dijebloskan ke penjara dan adanya upaya pemeriksaan terhadap Muchdi dan sebagainya.
"Sebenarnya ada yang ditangkap lalu divonis, itu sebenarnya sudah pengumuman. Apalagi yang mesti diumumkan? langsung penindakan. Ya memang dalam Keppres bunyinya pemerintah wajib menyampaikan hasil itu," jelas Marsudhi pekan lalu.
Lain halnya dengan mantan Kepala BIN, AM Hendropriyono yang belakangan disebut-sebut terlibat kuat dalam kasus ini. Menurut dia, dalam penyelidikan TPF, AM Hendropriyono tidak ditemukan terlibat. Namun, lanjut dia, tidak menutup kemungkinan jika ada bukti baru untuk memeriksanya suatu saat oleh kepolisian.
"Saat itu, Hendropriyono tidak terbukti terlibat. Ingat ya, saat itu lho ya tidak terbukti. Kalau saat sekarang ada bukti ya terserah, kan bisa berkembang ada novum, berita baru. Karena namanya kan sudah kita data mengarah ke sana," tegas Hanafi.
Hingga rezim SBY berakhir dan berganti pemerintahan baru, aktor intelektual pemufakatan jahat pembunuhan Munir belum terungkap. Wajar saja jika pemerintahan Jokowi didesak kembali membuka temuan TPF dan menindaklanjutinya. Tapi pemerintah berdalih dokumen laporan akhir temuan TPF tidak tersimpan di istana negara, sehingga belum bisa ditindaklanjuti. Bola panas kembali dilempar ke pemerintahan SBY.
Sudi Silalahi mengakui, naskah laporan akhir TPF Munir hingga saat ini sedang ditelusuri keberadaannya. Sebelum pemerintah SBY berakhir, dokumen-dokumen negara yang penting sudah diseleksi, dikumpulkan lalu diserahkan kepada lembaga kepresidenan dan Arsip Nasional Republik Indonesia. Tapi Sudi tidak ingat betul apakah laporan akhir TPF Munir ada di salah satu dokumen itu.
Saat mantan pejabat pemerintahan SBY sibuk mencari keberadaan dokumen itu, ada yang mengirimkan fotokopi naskah yang dimaksud. SBY dan anak buahnya langsung melakukan kesesuaian dan otentifikasi dokumen tersebut. SBY memanggil Marsudhi ke kediamannya di Cikeas, Bogor, Senin (24/10).
"Untuk memastikan dokumen, saya secara moral harus bertanggungjawab juga. Ada anggota kabinet. Sebelumnya mungkin mereka rapat dulu, lalu mungkin mereka merasa perlu panggil saya. Jadi saya hadir," kata Marsudhi.
Dia mulai menjelaskan pada SBY seluk beluk laporan tersebut. Laporan itu dipastikan tidak mengalami perubahan atau penyuntingan dalam bentuk apapun. Tidak ada yang ditambah atau dikurangi. Marsudhi yakin isi dokumen itu sesuai yang diserahkan pada SBY lebih dari 10 tahun lalu. Dia yakin tidak ada unsur kesengajaan dari peristiwa hilangnya dokumen laporan akhir TPF.
"Untuk kepentingan apa dia (SBY) hilangkan itu? tidak ada. Kalau perlu dan tidak melanggar aturan, dia bagi-bagikan itu. Enggak masuk akal dibilang menghilangkan," ucap Marsudhi.
Kritik keras datang dari Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf menyatakan dokumen asli Tim Pencari Fakta (TPF) kasus kematian Munir bisa jadi sengaja dihilangkan. Sebab, pembunuhan Munir merupakan pembunuhan politik yang melibatkan operasi bersifat rahasia, terencana, dan bersekongkol. Menurut Al Araf, kemungkinan ini diduga lantaran ada kekuatan yang memiliki keahlian khusus agar penyelesaian kasus Munir disetop permanen.
"Menyelesaikan kasus Munir tidak ada kendati sehingga kemudian mereka berdalih dengan cara dokumennya enggak ada dengan harapan dokumen hilang sehingga tidak ada proses hukum dan sebagainya. Itu bisa jadi," katanya dalam konferensi pers di Kantor Imparsial, kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (27/10).
"Bisa jadi yang ketiga adalah kemungkinan dokumen ini sengaja dihilangkan. Artinya ini bentuk suatu operasi khusus yang bekerja untuk menghilangkan dokumen ini dengan harapan ini akan jadi hambatan untuk proses hukum. Keempat bisa jadi dari buruknya administrasi publik. Dan kelima bisa bagian dari komoditas politk untuk tidak memeriksa. Itu semua kemungkinan," jelasnya.
Dia menegaskan upaya pengungkapan pembunuhan Munir belum selesai. Sebab, hingga kini beberapa temuan TPF Munir belum ditindaklanjuti. Karena itu, dia menyatakan keterangan yang disampaikan mantan Seskab Sudi Silalahi yang mengatakan rekomendasi TPF telah dijalankan oleh SBY adalah tidak benar."Keterangan dari mantan Seskab era SBY, Sudi Silalahi menyebutkan bahwa rekomendasi TPF telah dijalankan oleh SBY, adalah pernyataan yang tidak benar," katanya.
Dia mengatakan, kasus pembunuhan Munir ini hanya baru menindak pelaku di lapangan. Sementara otak intelektualnya sama sekali belum tersentuh hukum.
Tulisan ini merupakan bagian dari laporan khusus saya di merdeka.com
Comments
Post a Comment