Haruskah Indonesia minta maaf kepada PKI?



Peristiwa 1965 menjadi catatan kelam sejarah bangsa ini. Peristiwa berawal dari pembunuhan enam jenderal dan 1 perwira itu kemudian berujung dengan pembantaian ratusan orang-orang dicap sebagai komunis. Setengah abad peristiwa itu telah berlalu, harapan akan adanya penyelesaian terus bergulir. Banyak kalangan mendesak agar ada pelurusan sejarah di tahun 1965 hingga 1968. Harapan pun muncul agar pemerintah mengeluarkan sikap tegas.

Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Senin (18/4/2016) lalu dinilai menjadi niat awal yang baik pemerintah dalam mengungkapkan fakta sejarah. Meski belum menghasilkan sikap final, Direktur Para Syndicate Beny Sulistyo mengatakan proses ini harus dihargai sebagai jalan meluruskan sejarah bangsa ini.


Romo Beny menekankan agar Pemerintah melalui Presiden, harus meminta maaf dan mengakui bahwa bangsa ini pernah melakukan dan membiarkan pembunuhan masal. Menurut dia, bangsa ini akan menjadi bangsa yang besar jika mampu berdamai dengan masa lalunya.




Berikut petikan wawancara Romo Beny dengan saya mengenai peristiwa 1965.


Menurut Anda peristiwa 1965 itu seperti apa?


Sebenarnya peristiwa 65 itu kita harus mengakui sisi gelap sejarah kita. Artinya, orang mengatakan sejarah 65 itu adalah kudeta, yang artinya memakan korban masyarakat sipil. Jadi masyarakat sipil korban, korban dari kudeta. Peristiwa 65 menjadi persoalan politik besar karena aktor-aktor yang bermain itu merasa seolah-olah kalau sejarah 65 itu diungkap terkena dirinya. Padahal ini kan sejarah, sejarah masa lalu yang harus dilewati gitu lho. Lah kita tidak berani melihat sejarah masa lalu seperti Jerman dengan Hitler-nya mau mengakui jika ada sistim yang salah. Sehingga mereka membangun ingatan memori seperti museum, patung dan membuat semacam ingatan bahwa Bangsa Jerman melakukan hal seperti itu.


Nah, kita gak berani seperti itu, sehingga dalam Simposium itu kan kalau mendengar kesaksian para korban itu kan ada dua persoalan. Pertama, persoalan tentang bagaimana negara mengambil alih ini, negara menyatakan sebenarnya memang pada waktu itu terjadi kudeta dan dalam kudeta itu memakan korban masyarakat sipil. Maka negara meminta maaf kepada korban itu dan memberi kompensasi atau rehabilitasi nama baik sehingga rekonsiliasi itu dimulai dengan pemulihan martabatnya.


Tanpa pengakuan yang jujur tidak ada rekonsiliasi. Jadi rekonsiliasi itu syaratnya saya tahu, mau dan sadar. Tahu bahwa memang terjadi kesalahan, mau memperbaiki kesalahan itu dan sadar, sadar artinya ya harus direhabilitasi nama baiknya. Sehingga tidak terjadi stigma seperti ini. Jadi peristiwa 65 itu jangan dilihat korbannya tetapi akibatnya bahwa masa lalu itu sampai sekarang mereka jadi orang-orang yang tidak lagi memiliki martabat manusia. Sebab ini pengingkaran terhadap pancasila, yaitu kemanusiaan dan keadilan.

Saya berharap pemerintahan Jokowi berani mewujudkan Nawacita itu. Dengan apa? Ya pemulihan, pemulihan. Pemulihan nama baik itu ya mulai dulu dengan Soekarno. Karena persoalan ini kan kudeta. Jadi Soekarno dipulihkan kembali namanya bahwa dia tidak ada kaitannya dengan tragedi 65. Peristiwa 65 kan bagian dari perang dingin Barat dan Timur (AS dan Uni Soviet). Ketegangan itu berimbas karena Soekarno dituduh terlalu dekat dengan RRC dan Uni Soviet yang pahamnya komunisme mengancam persoalan yang sebenarnya bukan hanya persoalan tentang politik tetapi persoalan pada waktu itu dunia memang terjadi ketegangan. Jadi kita melihat situasi globalnya.

Dengan keberanian mengakui kekelaman masa lalu akan memutuskan tali dendam itu. Maka sejarah harus diluruskan kembali. Persoalan sejarah diluruskan kembali ya harus ada keberanian untuk mengakui ada sistim yang salah pada waktu itu. Sistim yang salah dengan mengakui dengan konteks Jerman dengan Hitler, Australia juga melakukannya dengan suku Aborigin, Kamboja dengan sistem pol-polt dan kita harus mengakui ada sistim yang salah pada waktu itu. Kesalahan kan sejarah dan kita belajar dari kesalahan sejarah. Jadi menurut saya, dengan mengungkap masa lalu kita tidak perlu takut justru luka-luka lama yang sembuh itu akan membuat kita akan jadi bangsa dengan peradaban yang besar.


Bagaimana pandangan Anda dengan adanya desakan meminta maaf dari masyarakat?


Rekonsiliasi itu kan dimulai negara meminta maaf dan mengatakan saatnya lah negara itu mengambil alih dan mengatakan ini proses sejarah sehingga negara membuat memori ingatan seperti Jerman dan Kamboja. Tetapi sejarah itu titik awalnya pada rekonsiliasi dengan titik pokok pemulihan martabat. Orientasi pada korban dan korban ini adalah masyarakat sipil, dua-duanya dengan para jendral. Wong ini kan persoalan politik kok.


Lalu bagaimana dengan pernyataan Menkopolhukam (Luhut Bisar Panjaitan) dan Wapres Jusuf Kalla menyebut negara tidak perlu meminta maaf?


Ini kan proses. Sarasehan kemarin jadi awal dalam menciptakan satu keberanian orang saling memberikan fakta-fakta sejarah, sharing itu penting lho. Dan kedua pihak saling menerima karena keduanya adalah korban begitu lho. Ini kan persoalan politik, perebutan kekuasaan. Jadi 65 itu tidak murni pembunuhan masal tetapi ada persoalan global terkait situasi ketegangan yang ada waktu itu, Uni Soviet dan AS terkait rivalitas ekonomi dan politik.


Apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah?


Pemerintah harus melihat fakta-fakta sejarah itu dengan hasil riset lalu kemudian mencoba membangun seperti simposium-simposium ini untuk mencoba menerima persoalan-persoalan itu yang menjadi korban. Dialog ini sangat penting, jadi pemerintah tidak harus segera mengambil sikap tetapi pemerintah melakukan dengan tidak perlu tergesa-gesa. Yang penting dalam suasana dialog dan ada keberanian orang tidak berisik pada korban 65 tetapi negara mulai merehabilitasi nama itu, mulailah dengan Soekarno. Karena Soekarno bagian dari korban dan yang menjadi korban adalah pengikut Soekarno.


Dalam simposium terdapat perbedaan jumlah korban 65, bagaimana menurut Anda?


Menurut saya jumlah korban tidak perlu dipersoalkan tetapi ada korban, iya. Tidak perlu sebut seratus ribu, satu orang juga banyak. Jangan kita pada persoalan jumlah, tetapi pada persoalan bahwa peristiwa 65 itu terjadi pembantaian ya itu harus diakui. Dan korbannya adalah masyarakat sipil. Itu dulu. Nah rekonsiliasi itu adalah pemulihan kembali itu ada pada sebuah pengakuan yang jujur. Maka kejujuran dalam menatap sejarah itu penting.


Pelurusan sejarah tanpa kejujuran itu tidak mungkin. Nah, dari hasil riset dan penelitian ini memang persoalan politik. 65 itu bagian dari kudeta dan yang jadi korban adalah pengikut Soekarno. Mereka tidak tahu dan mereka ini kan orang yang mencoba mengaktualisasikan janji-janji revolusi Soekarno. Nah ini yang jadi korban sebenarnya, ada guru, intelektual, ada orang yang tidak tahu walau militer, orang-orang ini setia pada Soekarno.


Para Jendral yang mati juga kan jadi korban?


Ya dia kan akibat persaingan politik. Mereka korban juga. Persoalannya adalah dalam persepsi korban ini kan sebuah pertarungan global, situasi dunia pada waktu itu. Tetapi sejarah bagi kita sangat baik. Untuk apa? Untuk saatnya negeri ini berani menatap masa depan dengan melihat sejarah masa lalu. Mungkin sejarah masa lalu itu pahit itu membawa peradaban yang besar misalnya Jerman. Dengan masa lalunya muncu lah peradaban katakanlah zaman pencerahan (aufklarung), muncul orang berpikir tentang teori-teori kritis, muncul teori-teori humanis dan teori-teori pencerahan. Sejak saat itu peradaban Jerman mulai sadar bahwa manusia itu menjadi sesuatu yang berarti maka bagi bagi Bangsa Jerman refleksi tentang Hitler adalah titik balik peradaban.


Kalau kita bisa menyelesaikan peristiwa 65 dan para korban, bangsa ini akan menjadi bangsa yang besar. Karena misalnya Korea Selatan maju dengan menyelesaikan masa lalunya. Jepang selesai masa lalunya setelah pemboman Hiroshima dan Nagasaki. Jepang memutuskan memulai peradaban baru-nya. Nah kita harus berani sebagai bangsa yang dewasa untuk menyatakan sejarah kelam bangsa kita untuk memulai suatu peradaban yang baru. Dan itu bisa kok, karena antara korban sudah ketemu. Ini kan kalau masih ada resistensi itu biasa. Nah di sinilah keberanian pemimpin untuk mau menyelesaikan masa lalu itu, apa pun diselesaikan. Penyelesaian masa lalu itu dilakukan dengan dialog dan menyatakan bahwa hak-hak korban diakui dan satu dengan yang lain saling memulihkan martabatnya. Dan ketiga harus ada kehendak negara. Kehendak negara juga harus ada keinginan politik untuk menyelesaikan masa lalu itu. Jadi ini tidak ada lagi dikotomi karena semua korban, korban dari pertarungan global.


Untuk meluruskan sejarah ini elemen apa yang diperlukan?


Menurut saya para intelek harus duduk bersama pemerintah, para korban dan sejarawan untuk mencari pola-pola yang cocok dengan kultur budaya Indonesia. Karena di Indonesia tidak ada tokoh selevel Nelson Mandela ya boleh lah membangun rekonsiliasi dengan titik tolak lokal-lokal daerah. Dari lokal-lokal ini muncul tokoh-tokoh yang bisa menjadikan sebuah rekonsiliasi. Dan dari tokoh-tokoh itu kita bisa membuat jembatan sehingga rekonsiliasi dimulai dari daerah dan beberapa daerah sudah melakukan itu. Nah ini harus dilanjutkan terus.


Jadi menurut saya keberanian memutuskan tali dendam itu awal dari rekonsiliasi. Tetapi rekonsiliasi harus dimulai dengan kesadaran bersama bahwa kita semua bersalah

karena membiarkan tragedi itu terjadi. Semua bersalah, tidak ada yang salah dan benar tetapi kita harus mengakui dengan tujuan bahwa persoalan 65 adalah sejarah awal peradaban kita.

Artinya adalah negara?


Ya negara mengambil alih.



Catatan: Setelah Simposium di Aryaduta digelar, muncul kemudian simposium di Balai Kartini, Jakarta. Simposium ini menolak keras adanya permintaan maaf mengingat (seperti digagaskan dalam simposium itu), PKI merupakan partai terlarang dan juga melakukan pembantaian yang sama.

Comments

Popular posts from this blog

Nasib rumah para jenderal korban peristiwa 65

Gereja Ayam, simbol kebangkitan pribumi

Perjuangan melawan kemiskinan di perbatasan TTU