Isu SARA bisa kalahkan Ahok?

Isu Suku, agama, ras antargolongan (SARA) memang menjadi momok dalam berdemokrasi di Indonesia. Tak sedikit pihak menggunakan SARA untuk menjegal satu sama lain. 

Padahal di beberapa tempat, latar belakang agama dan suku tidak menjadi halangan bagi seseorang untuk menjadi pemimpin. Sebut saja Sadiq Khan yang sukses Walikota London, Ingrris. Dia merupakan warga muslim pertama yang berhasil menjadi pemimpin di negeri dengan julukan tiga singa itu

Isu SARA juga seolah tidak bisa lepas dari Pilkda DKI, termasuk di Pilkada 2017 nanti. Sempat muncul di Pilkada DKI 2012, isu SARA kembali mencuat di tengah sengitnya persaingan untuk merebut kursi pimpinan di ibukota.  


Di luar isu SARA, setiap bakal calon tentu punya peluang menjadi pemimpin DKI. Dan peluang itu ditentukan oleh keputusan pemilih pada saat pencoblosan. Sementara itu, warga yang tinggal di DKI Jakarta tiap hari bertambah. Berdasarkan data BPS pada tahun 2011, jumlah penduduk Jakarta adalah 10.187.595 jiwa. Jumlah ini tentu mempengaruhi penambahan jumlah daftar pemilih tetap (DPT). 

Memang jika dilihat dari demografi agama dan suku di DKI Jakarta, kekhwatiran itu sah-sah saja. Sebab penduduk DKI Jakarta, menurut data pemerintah DKI pada tahun 2005, jumlah terbesar adalah Islam yakni 84,4%.  Baru kemudian diikuti Kristen Protestan 6,2 %, Katolik 5,7 %, Hindu 1,2 %, dan Buddha 3,5 %. Jumlah umat Buddha terlihat lebih banyak karena umat Konghucu juga ikut tercakup di dalamnya. 

Sedangkan, berdasarkan suku, dari sensus penduduk tahun 2000, tercatat bahwa penduduk Jakarta berjumlah 8,3 juta jiwa yang terdiri dari orang Jawa sebanyak 35,16%. Menyusul kemudian Betawi 27,65%, Sunda 15,27%, Tionghoa 5,53%, Batak 3,61%, Minangkabau 3,18%, Melayu 1,62%, Bugis 0,59%, Madura 0,57%, Banten 0,25%, dan Banjar 0,1%.

Menyurvei peluang

Apakah SARA tetap berlaku di Pilgub DKI 2017 nanti? Pada 24-29 Juni 2016, lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyertakan isu SARA dalam satu aspek yang disurvei. Oleh SMRC, SARA ditinjau guna mengetahui apakah isu-isu itu memengaruhi warga Jakarta dalam memilih gubernur pada Februari 2017 nanti.

Survei dilakukan dengan metode wawancara terhadap 820 responden. Namun, hanya 646 responden yang dinyatakan valid dan datanya dianalisis. Saat ditanyakan setuju atau tidak orang yang beragama Islam tidak boleh dipimpin oleh orang yang bukan Islam, 48 persen responden menyatakan tidak setuju. Sementara yang mengatakan sangat setuju 12 persen dan yang setuju 29 persen.

Kemudian, saat ditanya mengenai pandangan bahwa orang dari etnis minoritas tidak boleh memimpin orang-orang dari etnis mayoritas, 64 persen responden menyatakan tidak setuju. Sebanyak 4 persen menyatakan sangat setuju dan 20 persen setuju.

"Dalam konteks isu agama dan etnis, penduduk DKI sangat liberal. Isu rasialisme tidak laku," kata Direktur Program SMRC, Sirojudin Abbas, saat merilis hasil survei terkait Pilkada DKI 2017, di Kantor SMRC, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (21/7/2016).

"Mayoritas pemilih Jakarta cukup moderat dalam memandang asal-usul agama dan etnis ketika menentukan dukungan terhadap calon gubernur," imbuhnya.

Hal yang sama diperlihatkan dalam hasil survei yang dirilis lembaga IndoStrategi. 29 persen responden yakin bahwa masyarakat DKI Jakarta bisa terbelah oleh isu-isu SARA, sedangkan yang menentang keyakinan ini sebanyak 59 persen. Survei yang diadakan pada 1-12 April 2016 lalu itu melibatkan 1.200 responden dari lima kota madya dan satu kabupaten di DKI. Dari total responden itu, 91 persen di antaranya beragama Islam.

Dalam survei tersebut, 63,2 persen responden menyatakan setuju jika gubernur DKI dipimpin oleh seorang Muslim. Namun, saat disuguhkan nama-nama kandidat bakal calon gubernur, mayoritas responden tetap memilih Ahok yang bukan Muslim.

Lembaga IndoStrategi membaca hasil tersebut sebagai situasi bahwa pandangan masyarakat Islam Jakarta yang masih normatif tidak memengaruhi preferensi politik mereka. Hasil survei bahkan menunjukkan nilai signifikansi korelasi keduanya kurang dari 0,05 persen.
Lalu apa yang menjadi rujukan warga DKI dalam memilih pemimpinnya? Menurut Direktur Eksekutif IndoStrategi Andar Nubowo, Warga Jakarta, kata Andar, lebih melihat program-program dan track record apa yang dimiliki para kandidat. Mereka tidak terlalu memedulikan latar belakang agama calon pemimpin mereka.

"Yang dibutuhkan adalah bagaimana pemimpin itu melakukan pelayanan publik. Itu bukan normatif lagi, tapi praktik. Meskipun alam bawah sadar warga normatif, tapi dalam politik itu mereka praktik," tuturnya.

Comments

Popular posts from this blog

Nasib rumah para jenderal korban peristiwa 65

Perjuangan melawan kemiskinan di perbatasan TTU

Gereja Ayam, simbol kebangkitan pribumi