Nasib rumah para jenderal korban peristiwa 65

Dini hari, 1 Oktober 1965, Pasukan Cakrabirawa menyantroni tujuh rumah jenderal TNI Angkatan Darat secara serentak. Mereka berdalih membawa pesan Presiden Soekarno, menuntut petinggi militer yang mereka jemput untuk ikut tanpa bertanya-tanya lagi. Belakangan baru diketahui enam jenderal dibawa ke sumur tua di Desa Lubang Buaya, Pondok Gede, Jakarta Timur.

Dari ketujuh jenderal ini, hanya Letjen A. H Nasution yang selamat. Sementara enam jenderal lainnya yakni Letjen A. Yani, Mayjen Raden Suprapto, Mayjen Mas Tirtodaro Haryono, Mayjen Siswondo Parman, Brigjen Donald Isaac Panjaitan, Brigjen Sutoyo Siswomihardjo ditemukan tewas di Lubang Buaya.


Dari masa ke masa peristiwa ini disebut Gerakan 30 September 1965, kendati operasi sebenarnya terjadi sehari setelahnya. Keenam jenderal dan para orang terdekat mereka yang ikut menjadi korban kala itu kini dikenal sebagai pahlawan revolusi. 51 tahun berlalu, saksi hidup dan bisu peristiwa keji ini masih bisa dilihat hingga kini. Saksi itu antara lain anak-anak para jenderal maupun rumah yang mereka diami kala itu.

Kami menyambangi ketujuh rumah para jenderal untuk melihat secara dekat saksi bisu peristiwa sejarah masa lalu. Niat ini tak saja dilatari oleh peristiwa sejarah yang sebentar lagi diperingati, tapi juga di tengah wacana Pemprov DKI Jakarta yang berniat memuseumkan rumah-rumah ini. Sebab, hanya rumah Letjen A. H. Nasution dan Lejten A. Yani yang sudah menjadi museum kini.

Pagar rumah berlantai dua di jalan Hasanuddin No. 53, Melawai, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan tertutup rapat. Seorang laki-laki paruh baya sibuk memangkas rimbunan bonsai yang hampir menutupi halaman depan rumah. Di dalam rumah tak terdengar adanya aktivitas. Sebuah mobil putih parkir di depan garasi, sedangkan satu lainnya di depan halaman rumah.

Rumah bercat putih itu merupakan kediaman pribadi Pahlawan Revolusi Donald Isaac Panjaitan. Menurut informasi Aseng (43), sang petugas kebun, rumah ini didiami oleh anak kelima D. I. Panjaitan yakni Tuthy Kamarati Panjaitan. Sebagaimana potret masa silam, rumah seluas 800 m2 dan berdiri di atas aeral 1000 m2 ini masih mempertahankan bentuk aslinya. Hanya, kata Aseng, rumah ini sudah mengalami perbaikan beberapa kali.

Kami tidak mendapat kesempatan untuk masuk ke dalam rumah ini. Seorang perempuan paruh baya hanya memberikan nomor telepon yang bisa dihubungi. "Tak ada orang, anaknya lagi keluar," kata perempuan itu menyambut kami.

Namun menurut informasi yang didengar Aseng, rumah ini sudah diniatkan untuk dijadikan cagar budaya. Namun komunikasi antara Pemprov DKI dan pihak keluarga D.I Panjaitan belum menuai kesepakatan. "Ada anaknya yang setuju tapi ada juga gak setuju," kata Aseng.

Tahun 2015 lalu, Wagub DKI Dajrot Saiful Hidayat mengatakan niat menjadikan cagar budaya rumah D.I Panjaitan sudah mendapat respon positif dari ahli waris. Kesepakatan itu, kata dia, ini hanya tinggal menunggu harga appraisal dan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tahun 2015. Sebab tahun 2013, ahli waris pernah menyampaikan harga apparaisal tahun 2013 yang nilai besarnya perlu disesuaikan dengan harga appraisal tahun itu.
"Ahli waris sudah OK. Rumah itu masih tetap punya enam ahli waris dan mereka berniat untuk menjualnya ke kita," kata Djarot di Balaikota DKI, Jakarta, Jumat (27/11/2015).

Kami selanjutnya mendatangi kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Di kawasan ini hampir semua rumah para pahlawan revolusi berada. Namun ketika tiba di alamat rumah dinas Mayjen R. Suprapto di jalan Besuki No. 19, Menteng, Jakarta Pusat, tak ada informasi yang didapat. Dari rumah-rumah yang ada, No. 19 tidak terlihat sama sekali.

"Saya sering jalan-jalan sore, namun No. 19 tidak ada kalau saya perhatikan," kata seorang pemilik warung yang tak diketahui namanya kepada merdeka.com. Besar kemungkinan rumah Soeprapto sudah dijadikan satu oleh pihak yang sudah membelinya dulu.

Adapun rumah Mayjen Siswondo Parman di jalan Syamsu Rizal, Menteng sudah beralih kepemilikan. Sekitar tahun 1991/1992, salah seoarang ahli waris, Suyono menjual rumah itu kepada pensiunan TNI AL, Laksamana Muda (Purn) Abdul Hakim. "Saya beli dari anaknya yang bernama Suyono, orang angkatan darat. Waktu itu dia masih pangkat Letkol," kata Abdul Hakim menyambut kami.

Menurut Abdul Hakim, rumah peninggalan S. Parman tidak berstatus A, B atau C sebagai bangunan cagar budaya. Artinya dia berhak untuk merombak ulang bangunan itu sesuai keinginnanya. Dari tangan Suyono, rumah itu sudah dalam keadaan yang tidak bisa digunakan lagi. "Tidak ada lagi seperti bentuk semula, sudah dirombak habis," jelas dia.

Rencana menjadikan cagar budaya juga dialamatkan ke rumah Lejten M.T. Haryono, di Jl. Pramabanan No. 8, Menteng, Jakarta Pusat. Sama seperti rumah D. I. Panjaitan, rumah M. T Hariyono juga masih mempertahankan bentuk aslinya. Terali kotak-kotak di depan kamar pribadi sang jenderal masih seperti semula. Di dalam kamar itulah Hariyono diberondong puluhan peluru oleh pasukan Cakrabirawa. Adapun yang sempat diganti adalah pagar depan karena sudah termakan usia dan sedikit perluasan di bagian kiri rumah.

Tahun 2014 lalu, Mariatni, istri M. T. Hariyono meninggal dunia. Agar tidak rusak, salah satu anggota keluarga mendiami rumah itu hingga saat ini. Namun demikian, salah satu ahli waris, Rudianto Nurhadi (anak ke-3) mengatakan, tahun 1990 oleh TNI AD rumah itu sudah bertipe A. Ahli waris tidak diperkenankan merubah bentuk atapun menjual rumah itu kepada orang lain. "Keputusan itu secara sepihak. Artinya kami sudah kehilangan hak atas rumah itu," kata Rudianto kepada kami beberapa waktu lalu.

Menurut dia, sekembalinya M. T Hariyono dari tugas sebagai atase militer di Belanda tahun 1954, kesatuan (TNI AD) menyarankan dia untuk menempati rumah dinas di kawasan Imam Bonjol, Jakarta Pusat. Namun, Hariyono menolak dan membangun sendiri rumahnya dengan uang dari gaji pribadinya. Selain tidak mengeluarkan biaya perawatan atapun meringankan beban pajak yang sangat besar, ahli waris sangat dirugikan oleh keputusan kala itu.

"Sebenarnya kita sudah ngomong dengan Pak Jokowi dan Pak Ahok dulu dan memang ada niat Pemprov DKI untuk membeli. Tapi saya tidak tahu, faktanya sampai sekarang belum terealisasi," jelas Rudianto.

Rumah yang didiami Brigjen Sutoyo Siswomihardjo juga sudah beralih kepemilikan. Siang itu kami hanya menjumpai Aria (30) yang ditugaskan menjaga rumah itu. "Sudah dijual, Pak. Dulunya emang benar rumah Sutoyo," katanya.

Aria mempersilahkan kami melihat seisi ruangan. Di sebelah kiri rumah nampak sebuah garasi lengkap dengan sebuah mobil yang ditutupi terpal abu. Di ruangan tengah terdapat sebuah ruang tamu yang cukup besar dengan lampu klasik menggantung di atasnya.

Sementara itu di bagian dapur terdapat kitchen set bergaya modern di bagian kanan. Sebuah tangga kayu di sebelah kiri menghubungkan lantai dasar dengan lantai atas di dapur itu. Aria mengatakan, hampir seluruh bangunan sudah mengalami perombakan. Hanya ruang tengah dan garasi samping masih mempertahankan aslinya.

Informasi yang dihimpun, tahun 2011 lalu, rumah Sutoyo masih dihuni oleh anak keduanya, Nani Nurachman. Rumah itu mengalami renovasi sejak tahun 2007 sudah mengalami renovasi, memperbaiki ruangan agar tidak kusam. Adapun rumah seluas 400 m2 itu termasuk bangunan cagar budaya tipe B, artinya bagian luar tidak bisa diutak-atik.


Dari rumah para jenderal itu, hanya rumah Letjen A. Yani dan Letjen A. H. Nasution sudah berstatus museum kini. Ketika merdeka.com mendatangi kedua museum ini, kondisi museum sangat terawat dan masih mempertahankan bangunan aslinya. Museum Sasmitaloka Ahmad Yani dan Museum Sasmitaloka Jendral Besar A. H Nasution sepenuhnya dibawah pengawasan Mabes TNI AD, termasuk tanggungjawab dan dana operasional sehari-hari.

Dan sebagai museum, keduanya dilengkapi dengan reka ulang kejadian 1 Oktober 1965 baik berupa replika patung maupun penggambaran. Istimewanya, dua bangunan ini masih menyisakan kenangan tragis berupa barang-barang pribadi keluarga kedua jendral, lengkap dengan suasana penculikan yang didramatisir. Suasana malam yang selamanya mengubah peta politik Indonesia, melahirkan sebuah rezim otoritarian: Orde Baru.


Tulisan ini merupakan liputan khusus saya bersama  tim merdeka.com, Faiq Hidayat dan Nuryandi Abdurohman dalam mengenang peristiwa 30 September 1965.

Comments

Popular posts from this blog

Gereja Ayam, simbol kebangkitan pribumi

Perjuangan melawan kemiskinan di perbatasan TTU