'Sastrawan' itu bernama Fadli Zon

Tepat dua tahun pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, politikus Fadli Zon kembali mengkritik Presiden Jokowi. Tidak seperti kritik biasanya, kali ini Fadli mengingatkan keduanya dalam sebuah puisi yang berjudul 'Dua tahun sudah berjalan'.

Menurut Fadli, dua tahun Kabinet Kerja berjalan, angka pengangguran masih tinggi di Indonesia. Tingginya pengguran itu menurutnya tak lepas dari kebijakan membolehkan tenaga asing bekerja di Indonesia, khususnya WNA Cina. Fadli dalam puisinya menempatkan Jokowi sebagai 'sekutu Cina' dengan kata merajalela. Lihat kata Fadli: dua tahun berjalan sudah / cari kerja semakin payah / pengangguran dimana-mana / buruh Cina merajalela / buruh kita tetap merana. 

Selain mengritik angka pengangguran, Fadli menilai Jokowi belum menjadikan hukum sebagai panglima negara: dua tahun berjalan sudah / hukum menjelma alat kuasa / mengabdi tunduk pada Istana / pisaunya berdarah membelah ke bawah/ ketidakadilan menjadi fenomena.

Tidak berniat untuk mengulas satu per satu isi puisinya, saya berandai-andai, Fadli kali ini malas mengkritik Jokowi dengan kata-kata biasa. Lebih baik lewat puisi. Berharap 'permainan kata' itu bisa melelehkan hati Jokowi.

Namun demikian, terlepas dari interese Fadli menyerang kebijakan Jokowi, gaya mengkritik lewat puisinya itu mengingatkan kita pada perjuangan tokoh sastra di Indonesia. Lewat karya sastra, mereka mengkritisi kebijakan pemerintah di era Orde Baru. Sebut saja Mochtar Lubis, Pramoedya Anata Toer, WS Rendra, Widji Tukul, dan Sitor Situmorang.

Perlawanan atas kebijakan yang tak pro rakyat melalui karya sastra mereka bukan tanpa resiko. Kelima sastrawan ini sudah merasakan tekanan pemerintah dan dinginnya hotel pordeo karena mengkritik ewat karya sastra.

Bagi rezim yang berkuasa, nafas para pengkritik ini ibarat bau busuk dan harus disingkirkan. Gencarnya kritik para sastrawan ini kemudian membuat pemerintah melahirkan Kitab KUHP yang mengatur pelarangan buku bertebaran tanpa kontrol pemerintah. Pasal 154 KUHP misalnya, berbunyi; "Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebenciaan, atau penghinaan terhadap pemerintah Indonesia, maka maka diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun atau denda paling banyak tiga ratus juta".

Pada tahun 1957, Mochtar Lubis pernah menjadi tahanan rumah dan tahanan penjara selama sembilan tahun. Pengarang novel Jalan Tak Ada Ujung inikarena dianggap sebagai oposan Presiden Soekarno.

Pada tahun 1960-an, giliran Pramoedya mendapat tekanan. Pengarang Bumi Manusia ini ditahan oleh pemerintahan Soeharto lantaran pandangan pro komunisnya. Buku-bukunya dilarang beredar dan dia juga dilarang menulis selama berada di ruang tahanan yang berada di Pulau Buru. Pengalaman dipenjara juga terjadi pada Sitor Situmorang dan WS Rendra.

Berbeda dengan empat sastrawan di atas, bentuk intimidasi yang paling menyakitkan terjadi pada Widji Tukul. Pada tahun 1996, penyair yang terkenal menciptakan slogan 'Satu kata: Lawan!' ini menjadi buronan pemerintah Orde Baru. Pada tahun itu dia pamit kepada istrinya untuk pergi bersembunyi, dan sampai sekarang dia tidak pernah kembali lagi.

Widji Tukul diduga menjadi buronan karena jenderal-jenderal di Jakarta menuding puisi-puisinya menghasut para aktivis untuk melawan pemerintah Orde Baru. Banyak yang menduga dia hilang dan tidak pernah pulang karena telah menjadi korban penculikan dan pembunuhan menjelang Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 1998.

Problema Fadli

Satu hal yang membedakan perjuangan Fadli dan kelima sastrawan di atas adalah terkait latar belakang perlawanan. Mereka sama sekali tidak tidak dekat dengan suatu kekuasan atau partai politik. Beda halnya dengan Fadli Zon. Meskipun anggota DPR, dia merupakan kader dari Partai Gerindra. Sangat sulit untuk membedakan apakah ini mewakili rakyat atau karena ketidaksukannya secara politik. Fadli menilai Jokowi hanya melakukan pencitraan. Lihat kata Fadli: dua tahun berjalan suda / pencitraan yang kau buat memang hebat / luar biasa dahsyat / tapi lihat / negeri/ tetangga melaju pesat / kita serasa jalan di tempat.

Menyoal karya sastra dan sastrawan seperti puisi Fadli ini, saya pernah berdiskusi dengan salah satu sastrawan Indonesia, Gerson Poyk. Dia mengatakan sastrawan kadang 'dibayar' untuk menulis. Karyanya kadang mengantongi kepentingan.

Lalu apa kepentingan Fadli? Hal yang tidak bisa dipungikri juga adalah faktor ketidaksukaan Fadli itu tadi. Di mata Fadli, setiap kebijakan Jokowi 'seolah-olah tidak ada apa-apanya'. Berkali-kali Fadli menyerang Jokowi gara-gara tenaga kerja asal Cina termasuk proyek infrastruktur yang investornya berasal dari negeri tirai bambu itu Sederhana, Gerindra sebagai oposisi menilai Jokowi yang didukung PDI P belum mampu mensejahterakan rakyat Indonesia dalam Nawacitanya.Faktor antagonis oposisian inilah yang kadang menjadi kritik ketidaksukaan Fadli kepada kebijakan Jokowi. Di mata Fadli kebijakan Jokowi kadang seperti tidak ada apa-apanya.

Tapi semangat Fadli perlu diapresiasi. Paling tidak dia sudah menghasilkan sebuah puisi. Apakah puisi itu tergolong karya sastra, biarlah masing-masing kita memaknainya.

Mari menikmati puisi Fadli Zon berikut:

Dua Tahun Berjalan Sudah

dua tahun berjalan sudah
hidup semakin susah harga-harga melambung tinggi
lumpuh sudah daya beli
rakyat diwarisi gunungan utang luar negeri

dua tahun berjalan sudah
cari kerja semakin payah
pengangguran dimana-mana
buruh Cina merajalela
buruh kita tetap merana
petani rugi panen nestapa
nelayan tak bisa jual tangkapannya
pedagang kali lima dikejar aparat pamong praja

dua tahun berjalan sudah
kemiskinan semakin parah
yang kaya tambah perkasa
yang melarat jatuh sekarat
tangan-tangan besi tirani
menggusur penduduk asli

dua tahun berjalan sudah
hukum menjelma alat kuasa
mengabdi tunduk pada Istana
pisaunya berdarah membelah ke bawah
ketidakadilan menjadi fenomena

dua tahun berjalan sudah
Indonesia semakin lemah
impor pangan terus melimpah
mulai beras, gula, jagung, daging, garam,
hingga limbah
sementara
partai politik dibelah
di ujung timur diambang pecah
kemunafikan terus mewabah

dua tahun berjalan sudah
pencitraan yang kau buat memang hebat
luar biasa dahsyat
tapi lihat
negeri tetangga melaju pesat
kita serasa jalan di tempat.


Jakarta, 21 Oktober 2016

Comments

Popular posts from this blog

Nasib rumah para jenderal korban peristiwa 65

Perjuangan melawan kemiskinan di perbatasan TTU

Gereja Ayam, simbol kebangkitan pribumi