Sulitnya menembus dinding BIN di pengungkapan kasus Munir
Bekerja di bawah aturan non-projusticia seolah menjadi 'kegeraman' tersendiri bagi mantan anggota Tim Pencari Fakta, Hendardi. Meski mengantongi nama-nama yang diduga terlibat kuat dalam kasus pembunuhan aktivis Munir Said Thalib, Hendardi dan anggota lainnya tidak diperbolehkan untuk mengungkapkannya ke publik.
Tim Pencari Fakta merupakan lembaga non-projusticia. Sesuai Keppres No. 11 tahun 2004, mereka hanya bertugas untuk menelusuri fakta. Fakta itu dijadikan laporan yang diserahkan kepada kepada mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Hendardi pun berharap agar Presiden Jokowi segera menemukan dokumen yang serahkan akhir Juni 2005 silam. Di dalam dokumen itu terdapat nama-nama yang diduga terkait kuat dalam kasus Munir.
"Ada level-level berbeda yang diduga terkait dan direkomendasikan untuk diselidiki," kata Hendardi beberapa waktu lalu di ruang kerja di kantor Setara Insitute, Jl. Hang Lekiu, Jakarta Selatan.
Enam bulan lamanya TPF ini bekerja. Mereka mendatangi semua orang yang mengenal Munir, aktivitasnya dan terutama indikasi keracunan yang membuat Munir meregang nyawa dalam perjalanannya ke Belanda 7 September 2004.
Hal yang tak pernah dilupakan Hendardi adalah kesulitan untuk mengoreksi keterangan di mantan-mantan pejabat negara saat itu dan terutama lembaga Badan Intelijen Negara (BIN). Lembaga negara ini tentu mempunyai keterkaitan kuat dengan kasus pembunuhaan Munir. Dan kesulitan itu terjadi di tiga bulan pertama TPF bekerja.
"Tiga bulan pertama kita tidak kesulitan mendapatkan data-data. Termasuk tidak memiliki akses ke BIN," kata Hendardi.
Kesulitan ini kemudian diceritakan kepada SBY. Selain mendapat izin meneruskan penelusuran tiga bulan berikutnya, TPF akhirnya bisa menembusi 'kekokohan' BIN. "Saya ingat pada saat itu Pak SBY kemudian meminta Kepala BIN (AM Hendropriyono) dan juga meminta Panglima TNI lewat Menkopolhukam untuk membuka akses itu," jelas dia.
Kesulitan ini juga diamini mantan Ketua TPF, Marsudhi Hanafi. Menurut dia, alasan tidak bisa mengakses data atau mewawancarai petinggi BIN saat itu berkaitan dengan asas dan sifa kerahasian BIN sebagai lembaga negara. Beda dengan pihak Garudan Indonesia, kata dia, segala sesuatu dapat dengan mudah ditelusuri.
"Memang betul. Kan tidak semua bisa kita obok-obok. garuda bisa lah, tapi BIN enggak mungkin. Apa permintaan kita, dikasih. Beda di garuda, tidak ada rahasia. makanya kita dapat surat perintah palsu dan segala macam. jadi beda. daerah itu (BIN) sangat rahasia," kata Marsudhi.
Memiliki akses ke BIN bukan berarti mereka dengan mudah mendapatkan segala keterangan. Orang kuat di BIN yakni Muchdi Pr dan Hendropriyono tidak pernah mau untuk dimintai keterangan. Malahan, kata Hendardi, Hendropriyono yang diundang sebanyak empat kali kemudian balik mengundang TPF untuk ke kantornya.
"Muchdi Pr tidak pernah mau. Selalu ada alasan ini itulah, ke Papua lah. Malahan Hendropriyono balik mengundang kita ke kantornya," cerita dia.
Menurut Hanafi, Hendropriyono kemudian menjawab undangan mereka di salah satu media. Dalam wawancaranya dengan media itu, Hendro mengaku tidak ada kaitannya dengan TPF dan tidak terlibat dalam pembunuhan Munir.
"Dia pernah bilang saat itu ke media, apa urusan saya dengan TPF, saya tidak ada urusan. Saya kan tidak salah," jelas.
Belakangan Hendro disebut-sebut mendapat pemeriksaan secara diam-diam oleh penyidik kepolisian. Hanafi sendiri mengaku tidak tahu persis apakah hal itu dilakukan toh dengan TPF Hendro tidak pernah menghadiri undangan. "Ya itu informasi. Dia tidak mau dengan kita (TPF) mungkin mau dengan polri bisa saja," jelasnya.
Orang-orang BIN di level tertingi yang berhasil dimintai keterangan, lanjut dia hanya mencapai level Sekretaris Utama BIN ke bawah. Itupun pemeriksaan terjadi kantor BIN dimana anggota TPF lebih dahului 'dilucuti'. "Kita memeriksa mereka di kantor BIN. Kita masuk juga sudah dilucuti segala macam," jelas Hendardi.
Tulisan ini merupakan bagian dari laporan khusus saya di merdeka.com
Comments
Post a Comment