Watak buruk politik blusukan
Resmi maju sebagai calon gubernur di Pilkada DKI Jakarta 2017, dua paslon penantang, Agus Harimurti Yudhoyono-Silvia Murni dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno sudah mulai gencar melakukan blusukan. Membawa tim sukses masing-masing, kedua pasangan ini muncul di pasar, rumah warga, daerah pinggiran, rumah ibadah, dan sebagainya.
Mereka, dengan segala cara agar bisa dikenal dengan cara mempromosikan diri melalui blusukan ke masyarakat. Sebab melawan petahana Basuki T Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat bukan pekerjaan gampang. Ahok-Djarot sudah jauh lebih unggul dari segi popularitas, elektabiltas dan termasuk aksesibilitas sebagai calon petahana.
Istilah blusukan meroket gara-gara Jokowi yang turun hingga ke gorong-gorong ketika menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta. Blusukan itu pula lah yang mengantar mantan walikota solo itu jadi Presiden RI ke-7 saat ini.
Blusukan, dalam bahasa politik merupakan suatu pencitraan. Berkat usaha tim media Jokowi, blusukan menjadi senjata yang memikat hati publik. Jokowi yang tidak diperhitungkan sama sekali menjadi role model baru dalam kepemimpinan yang nota bene dikuasai militer sejak zaman Orde Baru (kecuali Megawati, Habibie dan Gus Dur yang sipil).
Hingga saat ini, dua politikus di Senayan, Fadli Zon dan Fahri Hamzah yang 'anti' dengan gaya blusukan Jokowi. Mereka kerap melontarkan kritikan keras nan pedas, meminta agar Jokowi stop pencitraan.
Fadli misalnya, meminta Jokowi tak perlu umbar-umbar ke publik soal Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Kemenhub beberapa waktu lalu. Namun, baik Fahri dan Fadli sebenarnya lupa tentang arti pencitraan itu sendiri. Sebab tindakan politikus adalah tindakan pencitraan. Kunjungan politis (turun ke dapil atau ke mana saja sebagai wakil rakyat) adalah pencitraan, yang kadang diberi label 'demi kepentingan masyarakat'.
Politik pencitraan
Istilah pencitraan dalam dunia politik merujuk pada suatu hal yang merupakan kesenjangan antara apa yang ditampakkan oleh seorang politikus, dan apa yang sebenarnya dia lakukan atau tidak dilakukan. Blusukan atau pencitraan diri dibuat untuk memberikan kesan yang mendorong orang-orang untuk mempercayai apa yang ditampilkan. Dan hal itulah yang dilakukan oleh setiap politikus saat ini. Tak terkecuali Fadli dan Fahri, Anies-Sandiaga, Agus-Silvi, juga Ahok-Djarot.
Pada mashab kontemporer, filsuf asal Perancis Jean Baudrillard mengkritik tentang pencitraan dengan konsep simulacrum, yaitu citra-citraan (images) yang dianggap sebagai kenyataan, meski tidak memiliki acuan pada realitas itu sendiri.
Dalam simulacrum, kata Baudrillard, yang terpenting dalam pencitraan adalah citraan itu sendiri, cover luar, cassing, kulit atau apapun yang menghubungkannya. Sedangkan isi pesan itu sendiri dikaburkan, digelapkan, dibelok-beloki bahkan ditutupi. Maka blusukan sebenarnya adalah serupa dengan 'rekayasa' ataupun 'pengaburan'.
Pencitraan menjadi media yang paling cepat agar seorang politikus laku diterima di masyarakat. Melalui pencitraan sebagai marketingnya, seorang politikus bisa dikenal, dipilih dan akhirnya menjadi seorang anggota legislatif dan eksekutif.
Watak buruk pencitraan
Dalam politik, pencitraan kadang hanya sebuah topeng belaka. Alih-alih ramah, menjanjikan perubahan dan segala macam janji ada dalam bahasa para politikus.
Filsuf Soren Kierkegaard (1813-1855) mengkritisi perilaku politikus seperti ini. Menurut dia, untuk sebuah topeng, para politikus hanya menggunakan nilai-nilai estetikus dan melupakan nilai-nilai etis dan religius. Nilai-nilai estetikus itu bisa dinyatakan melalui tingkah laku bertopeng untuk mengelabui orang-orang lain agar bisa diperalat untuk dijadikan tangga mencapai kekuasaan.
Topeng tersebut bisa berbentuk paras yang manis, senyum dan tawa yang ramah, janji yang menggiurkan, dan segenap hal manis yang sebenarnya palsu. Mereka yang memakai topeng demi tujuan politik oportunis itu sebenarnya telah menghilangkan makna panggilannya sebagai yang terpilih dari sekian pilihan.
Selain itu, janji politis dan pencitraan itu tak bisa dipisahkan. Janji adalah bahasa pencitraan, yang kerap disebut tapi lupa dalam praktiknya. Ketika berkunjung ke Dapil atau saat masa kampanye, seorang politikus kerap mengumbar janji.
Kerap mengumbar janji saat kampanye atau dilakukan saat blusukan itulah yang membuat kita harus senantiasa mengkritisi politik pencitraan. Bukan tidak mungkin begitu sudah terpilih, seseorang dengan mudah lupa dengan janjinya. Yang didahulukan bukan kepentingan rakyat kebanyakan tapi kepentingan para pendukung yang menyokongnya dari belakang. Maka jangan heran jika orang-orang dekat para politisi dan pemimpin mendapat jatah kursi begitu dia terpilih.
Comments
Post a Comment