Ahok, agama dan iklan obat nyamuk



"Apa ada yang lebih bagus dari HIT?" Jawabannya sedikit ngeles, "Yang Lebih mahal banyak!

Dari sejuta iklan yang tayang di TV bertahun-tahun, iklan produk obat anti nyamuk ini membuat saya tersenyum-senyum masam. Ditanya apa yang lebih bagus, jawabannya malah yang lebih mahal itu banyak. Lain tanya lain jawab. Tidak sesuai kan!

Bahasa iklan memang seperti itu, gokil, ngeles dan bahkan 'menjelekan' produk lain dengan bahasa perbandingan. Misalnya iklan deterjen dan shampo. Perusahaan pemiliknya selalu membandingkan deterjen dan lain dengan tidak mencantumkan nama produknya. Bahasanya pun sama, jangan salah pilih deterjen.

Seperti iklan, tiga kandidat Gubenur dan wakil Gubenur DKI Jakarta 2017 ini tengah menjual diri ke masyarakat. Produk jualannya adalah bagaimana membangun Jakarta lima tahun ke depan. Strateginya banyak, mulai dari blusukan ke pasar, masuk keluar wilayah sempit, tinjau got dan segala macam.

Mengiklankan diri atau mungkin bahasa lacurnya menjual diri dalam masa kampanye menjadi poin krusial. Jika salah strategi dalam momen ini, hal buruk pasti dialami para calon. Mereka harus bisa menawarkan ide baru dan solusi-solusi untuk menghadapi masalah di ibukota yang sangat kompleks. Hal ini juga sangat penting untuk dua penantang, sebab mereka mau tidak mau berhadapan dengan rasa puas publik atas beberapa kinerja Ahok yang terlanjur tanam di benak mereka.

Strategi itu juga jangan seperti cara murahan. Misalnya mengunjungi pasar, di depan kamera wartawan mereka tak segan-segan makan di warung murah, beli pakaian murah dan sebagainya. Suatu hal yang tidak pernah dilakukan sebelumnya tapi begitu kampanye tiba-tiba menunjukkannya. Sok merakyat. Sok iba. Coba nanti kalau sudah terpilih, apa ada lagi kunjungan sambil wara-wiri begitu. Apa ada Gubenur dan Wagub yang kembali lagi ke tempat itu untuk makan dan beli pakaiyan murah? Ya kadang seperti iklan, kemasannya bagus tapi belum tentu hasilnya.

Agama jadi iklan?

Saya tidak menuduh jika isu panas yang menghantam Ahok terkait dugaan penistaan agama, datang dari salah satu kandidat lawan atau malah keduanya bersekongkol. Toh ketika KPUD DKI Jakarta meresmikan tiga kandidat ini sebagai cagub dan cawagub, mereka dimintai komitmen integritas, menjaga agar Pilkada berlangsung baik dan kondusif. Isu SARA dijauhkan dan ketiganya mesti bersaing secara sehat dan fair.

Tapi celakanya, beberapa hari kemudian merebak isu besar. Ahok dituding melakukan penistaan agama. Buni Yani, warga asal Depok yang mengaku sebagai dosen dan wartawan mengedit transkrip pidato Ahok di Kepulauan Seribu. Dia bahkan menambahkan kata 'penistaan'. Ahok pun dilaporkan ke Bareskrim Polri.

Tak puas dengan penyelidikan kasus ini, MUI mengeluarkan fatwa, Ahok harus diperiksa. Kemudian FPI turun ke jalan mengadakan aksi demo. Seminggu usai demo di Balaikota, aksi berlanjut 4 November. Aksi yang kedua ini terlihat menjadi kekuatan penolakan yang lebih besar kepada Ahok. Belakangan muncul tudingan jika poros Cikeas lah aktor demo 4 November 2016 kemarin. Diduga untuk menaikan tingkat popularitas Agus-Silvy, Cikeas menjadikan kemarahan umat muslim kepada Ahok sebagai momentum.

Saya selalu menyebut apa yang dialami Ahok dalam kasus almaidah 51 adalah sebuah blunder. Kenapa? Ahok tahu isu SARA adalah hal sensitif tapi kemudian ketika dia menyebut itu tanpa menyadari resikonya.

Tapi demikiankah niat Ahok untuk menistakan agama? Dalam beberapa kesempatannya dia mengaku tidak mempunyai niat. Saya juga bisa memahami. Toh dia tidak sengaja mencari-cari ayat itu jikalau bukan FPI yang memulai. Ya FPI yang memulai, bukan Ahok. Berkali-kali FPI berkoar-koar agar tidak memilih Ahok karena agamanya non-muslim. Malah FPI kerap mengatai Ahok itu jangan dipilih karena ras Cinanya. Bukankah itu SARA?

Menggunakan almaidah 51 memang tidak salah karena umat muslim punya rujukan dalam memilih pemimpinnya. Tapi jika melihat hulunya, penolakan FPI atas  Ahok bukan kemarin saja, tapi sudah jauh-jauh hari. Bahasanya pun sama, Ahok non-muslim, haram hukumnya jika memilih pemimpin kafir. FPI, hemat saya menggunakan almaidah 51 sebagai rujukan untuk melegitimasi penolakan atas Ahok.

Apalagi, wilayah penafsiran atas kata pemimpin dalam Almaidah 51 juga masih diperdebatkan di antara cendikiawan muslim. Perihal penafsiran tersebut masih dalam wilayah itjihad atau didiskusikan di antara para ulama fiqih dan tafsir. Kata awliyya yang ditafsirkan sebagai pemimpin adalah tafsir yang dilakukan oleh masa orde baru untuk menekankan status agama Islam sebagai mayoritas.

Hanya, seperti dalil FPI dan MUI dalam ILC semalam , Ahok tidak berhak untuk mengutip surat itu karena tidak mengimaninya. Dan blundernya Ahok ada di sini. Dia mengutip alamaidah 51 dengan kata 'JANGAN PILIH SAYA KARENA BAPAK IBU DIBOHONGI PAKAI ALMAIDAH 51'.

Apakah kesucian Al-quran hilang karena hanya perkataan Ahok semata? Apakah jawaban Ahok 'saya tidak berniat' menistakan Alquran belum cukup? Masalah ini saya kembalikan ke umat muslim yang mengimani Al-quran dan juga kaidah hukum yang berlaku.

Saya juga yakin jika sebagian umat muslim jernih dalam menilai masalah ini. Kasus Ahok berbarengan dengan persaingan panas Pilkada DKI 2017. Jangan sampai justru umat muslim sedang diadu-domba oleh pihak yang ingin mengambil keuntungana dalam kasus Ahok ini? Percayalah, Islam itu lebih besar dari masalah itu sendiri dan Al-quran jauh lebih suci dari apa yang tak bisa dijaga Ahok melalui mulutnya. Dan jika Ahok benar-benar menistakan Al-quran, biarlah Allah SWT yang menilainya.

Ada yang lebih bagus dari Ahok?

Masyarakat DKI sangat mengharapkan adanya pemimpin yang bisa mengatasi kompleksitas persoalan di ibukota. Dibanding Ahok-Djarot, kedua kandidat lain boleh dikatakan masih minim pengalaman di dunia perpolitikan.

Namun, track record mereka juga tidak boleh dipandang sebelah mata. Minim pengamalan politik itu bukan menjadi satu-satunya tolak ukur kemenangan mereka. Dua pasangan ini bisa membawa nuansa baru dalam kepemimpinan dan pembangunan di ibukota. Mereka tak lagi seperti iklan HIT, yang lebih mahal banyak tapi keduanya juga bisa bagus. Dan bagus tidaknya mereka ditentukan oleh iklan mereka dan pilihan masyarakat nantinya.

Apakah ada yang lebih bagus selain menjadikan agama sebagai hal menjadikan kita terkotak-kotak dan terkoyak-koyak rasa kesatuan dan kecintaan kita atas NKRI ini?

Salam damai

Comments

  1. Penafsiran akan membawa damai atau perang tergantung pada wawasan dan pemahaman subyek yang melakuka penafsiran. Ketika gagasan damai yang dominan, penafsirannya pun membawa kedamaian. Begitupula sebaliknya. Saya sepakat bahwa kekayaan rohani yg terdapat dalam khasanah islam tidak dapat disempitkan hanya karena lontaran basa-basi semata.

    ReplyDelete
  2. Sepakat Mbk Meiyora Chisti. Wajah kemanusiaan itulah keberhasilan sebuah agama. Jika dia mampu membawa damai, itu tujuan sebenarnya.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Nasib rumah para jenderal korban peristiwa 65

Perjuangan melawan kemiskinan di perbatasan TTU

Gereja Ayam, simbol kebangkitan pribumi