Apakah suntik mati boleh dilakukan untuk pasien terminal?
Suami, anak dan keluarganya nyaris pasrah. Permohonan suntik mati kepada Mahkamah Agung (MA), menjadi jalan terakhir keluarga agar Humaida benar-benar bisa lepas dari derita yang dialaminya.
Dalam istilah moral, suntik mati disebut eutanasia. Kata ini merupakan istilah dari bahasa Yunani. Eutanasia adalah praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.
Eutanasia dibedakan melalui beberapa indikator. Di antaranya adalah dari sudut orang yang membuat keputusan, cara pelaksanaannya (aktif dan pasif), pemberian izin, dan tujuan eutanasia. Dan dalam kebanyakan kasus, dokter ataupun tenaga medis di rumah sakit adalah orang yang selalu berhadapan dengan situasi ini.
Metode ini disebut juga pembunuhan dengan rasa belas kasih (mercy killing). Permohonan untuk suntik mati agar lepas dari penderitaan bagi seorang pasien memang menjadi beban yang tak ringan. Keluarga seperti 'terdesak' oleh rasa belas kasihan dan juga beban biaya rumah sakit yang tak sedikit. Dan hal itulah yang dialami keluarga Humaidah. Mereka melakukan gugatan ke MA agar dokter bisa menyuntik mati meski mereka sebenarnya tidak tega dan keputusan itu adalah hal tersulit untuk mereka lakukan.
"Reaksi bapak saya tentu permintaan suntik mati itu jalan terakhir. Ya, saat ini tiba pada fase frustasi, kecewa bercampur aduk. Kita harap negara bisa hadir, membantu maksimal," kata Januar, salah seorang anak Humaidah kepada wartawan setempat.
Apa yang dilakukan keluarga Humaidah bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Sebuah permohonan untuk melakukan suntik mati pada tanggal 22 Oktober 2004 telah diajukan oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hasan mengajukan gugatan karena tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan di samping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan pula.
Apakah diperbolehkan di Indonesia?
Praktik eutanasia di Indonesia sama sekali tidak diperkenankan, baik oleh dokter maupun karena permintaan pasien atau keluarganya. Sekjen Kementrian Kesehatan, Untung Suseno mengatakan, alasan ekonomi ataupun belas kasihan tidak boleh dipakai untuk memperkuat dalil keluarga dalam memohon suntik mati.
"Alasan ekonomi tidak bisa dipakai dan itu juga tidak diperkenankan secara hukum. Di Indonesia dilarangkan!" kata Untung ketika berbincang dengan saya beberapa waktu lalu.
Menurut Untung, sejauh ini dokter di Indonesia belum berani untuk melakukan eutanasia atas permintaan pasien ataupun keluarganya. Aturan itu terdapat dalam Kode Etik Kedokteran yang ditetapkan Menteri Kesehatan Nomor: 434/Men.Kes./SK/X/1983. "Hukum juga dilarang dokter melakukan itu juga dalam kode etik mereka," lanjutnya.
Secara hukum, eutanasia termasuk kategori pembunuhan sebagaimana diatur dalam KHUP Pasal 344, 338, 340, 345, dan 359. Selain itu, sebagian besar agama dengan tegas melarang eutanasia meskipun banyak faktor yang menjadi pertimbangan para keluarga dan pasien.
Sosiolog Universitas Gajah Mada, Soeprapto mengatakan, eutanasia dengan cara suntik mati masih tergolong hal baru dalam praktiknya di Indonesia. Seperti hukum kebiri atau hukuman di kursi listik, eutanasia merupakan praktik yang tergolong tidak lazim.
"Jadi saya kira suntik mati masih dilarang karena merupakan suatu hal yang dalam bahasa sosiologisnya deviation behavior. Dalam proses peradilan hukumnya masih dianggap sebagai sesutau yang belum lazim," kata Soeprapto.
Meski dilarang tegass secara moral, keagamaan dan KHUP, Soeprapto menilai dalam kasus-kasus medis tertentu, eutanasia dapat dilakukan. Hal semacam itu misalnya jika seorang pasien terminal yang hidup karena tergantung pada alat kedokteran. Jika dicabut maka dia sebenarnya sudah mati secara medis. Dalam bahasa moral, perbuatan ini disebut euthanasia pasif.
"Dari kacamata sosiologi ada perbedaannya. Sehingga kalau alat ini dicabut itu bukan membunuh. Tapi kemudian kalau disuntik itu kan sebuah kesengajaan," jelas dia.
Namun demikian, kata dia, suntik mati bisa diterima suatu saat jika hal itu sudah banyak permintaan dari masyarakat, diskusi-diskusi akademis dan diatur dalam UU.
Kewajiban negara
Sekjen Majelis Ulama Indonesia, Choolil Nafis mengatakan, suntik mati karena alasan ekonomi sama sekali tidak dibenarkan dalam ajaran Islam. Sejauh ini, kata dia pemerintah Indonesia sudah memfasilitasi masyarakat ekonomi lemah dengan BPJS. Jika hal itu tidak membantu untuk pasien terminal, maka perlunya upaya pendekatan kepada pemerintah.
"Kan nanti rujuk dulu. Kalau memang sudah tidak bisa ya dia ditanggung oleh pemerintah misalnya dengan daftar dana sosial," jelas Cholil yang juga meminta adanya semangat gotong royong di masyarakat terkait kasus Humaidah ini.
Sementara itu, Sekjen Kemenkes Untung Suseno menilai belum ada hal yang mendesak jika pemerintah membuat sebuah rumah sakit untuk pasien-pasien terminal. Alasan logisnya, kata Untung, rumah sakit juga tentunta mempunyai fasilitas medis untuk menangani pasein terminal.
Bagi Soeprapto, rumah sakit untuk pasien terminal bisa dibuat suatu saat jika ada permintaan dari masyarakat. Dia menilai, permintaan untuk melakukan suntik mati dari pasien ataupun keluarganya adalah hal yang perlu dikaji oleh pemerintah. Sebab, kata dia, sesuai amanat UUD 45, pemerintah wajib memelihara orang miskin, sakit dan terlantar.
"Saya berharap ini bagian dari pemikiran pemerintah untuk bertanggungjawab. Bagus kalau ada arahnya ke sana untuk membangun rumah sakit khusus," pungkas dia.
Comments
Post a Comment