Ketika mayoritas 'menyandera' Jokowi karena Al-Maidah 51



Basuki T Purnama alias Ahok tersandera kasus dugaan penistaan agama. Elektabiltasnya merosot menurut sebuah lembaga survei, LSI. Jika survei bulan Maret lalu elektabilitas Ahok sebesar 59,3 persen, di bulan November menjadi 24,6 persen.

Tapi yang cukup sibuk dan bahkan mendapat imbas dari kasus Ahok adalah Presiden Jokowi. Dia didesak untuk tidak melindungi Ahok. Maka usai aksi 411 lalu, sang Presiden terlihat bolak-balik, keluar-masuk Istana Merdeka.

Jokowi juga harus menanggung semua cercaan di media sosial, juga termasuk ocehan Fahri Hamzah dan Ahmad Dhani yang luar biasa, luar biasa mengeluarkan kata kotor seenaknya. Sumpah serapah itu keluar tanpa terkendali, atau setidaknya menghormati sang presiden sebagai mandor negeri ini.

Tapi Jokowi rupanya cukup tenang menghadapi badai. Dia mengunjungi cendikiawan muslim baik Nadlahtul Utama maupun Muhamadiyah. Jokowi tahu bagaimana caranya mendinginkan suasana, agar polemik itu tidak meruntuhkan moral bangsa dan semangat merawat kebhinekaan bersama-sama.

"Seharusnya yang mayoritas itu wajib melindungi yang minoritas. Dan yang minoritas itu wajib menghormati yang mayoritas," kata Jokowi.

Di pihak Jokowi, desakan sebagian umat muslim untuk  tidak berpihak pada Ahok juga menjadi beban yang tak kalah ringan. Jokowi tahu benar jika demo itu tak hanya karena rasa marah umat muslim kepada Ahok tapi juga adanya kekuatan politik di belakangnya. Jokowi didesak kaumnya tapi juga dia harus bersikap netral pada kasus Ahok.

Tapi kemudian Jokowi juga berjanji tidak akan mengintervensi proses hukum Ahok. Dia bahkan setuju jika gelar perkara kasus ini dibiarkan terbuka seperti dikatakan Kapolri Jendral (Pol) Tito Karnavian, agar fair dan masyarakat tahu substansi masalahnya.

Mengapa orang muslim tidak mudah memaafkan Ahok di kasus dugaan penistaan agama? Mengapa pula para ustad dan ulama begitu getol mendesak Ahok untuk diperiksa? Harus diakui jika tidak semua umat muslim yang setuju dengan aksi 411. Cendikiawan seperti Buya Syafii Maarif misalnya. Dia berpendapat jika Ahok tidak menistakan agama.

Mayoritas yang mana?

Front Pembela Islam (FPI) terhitung sudah 18 kali mengadakan demo kepada Ahok sejak dia menjadi Gubernur DKI Jakarta menggantikan Jokowi yang dipilih rakyat menjadi Presiden RI. Dalil FPI selalu menjadikan agama sebagai rujukannya. Haram DKI Jakarta dipimpin Ahok yang kafir. Dan itu mereka merujuk pada Surat Al-maidah 51.

FPI semakin di atas angin ketika Ahok tersangkut kasus dugaan penistaan agama. Ahok harus mundur. Itulah ending yang ditunggu-tunggu oleh FPI, termasuk lawan politiknya saat ini.

Sebenarnya kasus ini sederhana. Ya, sederhana kalau tidak disusup oleh kepentingan politik. Cukup saja MUI atau para ulama yang turun ke jalan pada Novemeber 2016 lalu. Saya yakin, Jokowi yang taat ngaji dan menghormati alim ulama pasti membuka pintu Istana Merdeka lebar-lebar.

Tapi Jokowi rupanya cukup cerdik. Dia memilih blusukan ketika aksi berlangsung. Kenapa? Dia sebenarnya tau aksi 411 tidak murni bela Islam. Karena bukan tidak mungkin Jokowi dibisiki intelijen ataupun orang di lingkungannya jika aksi ini juga sebenarnya ditunggangi kepentingan politik.

Cara yang terbaik adalah mengungsi sejenak dan mendelegasikan wewenang untuk menemui pendemo kepada Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto serta Menteri Sekretaris Negara Pratikno.

Kelihatan kenapa Jokowi misalnya berdalih 'kondisi tidak memungkinkan ke istana' seperti yang diungkapkan Seskab Pramono Anung. "Tadi Presiden tiga sampai empat kali berkomunikasi dengan Mensesneg dan Seskab untuk kembali ke Istana," kata Pramono di Istana Negara, Sabtu (5/11/2016) pukul 00.10 WIB.

Namun, lanjut Pramono, karena jalan yang dianggap tak memungkinkan, Pasukan Pengamanan Presiden menyarankan agar Jokowi jangan dulu kembali ke Istana.

Teks dan konteks

Al-maidah 51 yang kerap digunakan umat muslim khususnya FPI seharusnya merujuk pada konteks. Konteks pertama adalah kapan dan bagaimana ayat itu digunakan. Untuk pemeluk muslim mungkin rujukan untuk memilih pemimpin tidak bisa tidak mengesampingkan Al-maidah 51.

Tapi persolannya di sini. Selain konteks penggunaan ayat 51, terjemahan ataupun tafsir kata awliya’ masih juga diperdebatkan. Sebagian masyarakat muslim berpendapat bahwa kata ‘Auwliya’ tersebut diterjemahkan sebagai ‘pemimpin’, sebagaimana yang tercantum didalam terjemahan Al Quran yang diterbitkan oleh pemerintah di Kementerian Agama.


Dilansir dari situs seword.com, Awliya’ ini yang kemudian diartikan sebagai pemimpin dalam Alquran terjemahan bahasa Indonesia, yang kemudian digunakan oleh kelompok Islam garis primitif nan goblok untuk kampanye menolak Ahok.

Padahal dalam tafsir Almisbah, awliya’ secara bahasa berarti kata jama’ dari wali. Wali dalam arti istilah adalah orang yang paling dekat. Misal wali nikah, adalah orang paling dekat dengan mempelai perempuan. Walikota, adalah orang yang seharusnya paling dekat dengan masyarakat kota.

Orang yang paling dekat dengan kita adalah orang yang paling cepat memberi bantuan pada kita. Sehingga kemudian diartikan sebagai pemimpin atau penolong.

Tapi apakah berlebihan misalnya kita terlalu jauh memperdebatkan alamaidah 51 dengan sebuah keharusan memilih pemimpin sesuai agama. Moral agama memang tidak bisa dinafikan begitu saja. Dia bahkan menjadi elemen pedoman hidup meski hukum dan aturan dari negara itu ada.

Namun, aturan keagamaan agama juga mendapat batasnya, kapan dan kepada siapa ia diterapkan. Bisa juga tidak berlaku wajib dalam konteks kita saat ini adalah hidup berdemokrasi dan menempatkan Pancasila sebagai rujukan.


Comments

Popular posts from this blog

Nasib rumah para jenderal korban peristiwa 65

Perjuangan melawan kemiskinan di perbatasan TTU

Gereja Ayam, simbol kebangkitan pribumi