Menyingkirkan Ahok dalam kata dan pribadinya
Kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok masih bergulir. FPI dan MUI tetap berharap jika Ahok dinyatakan bersalah.
Tapi FPI termasuk lawan politik Ahok terlihat seperti ketar-ketir. Itu bisa dilihat ketika Ahok dan orang di lingkarannya berencana membawa ulama dari Saudi Arabiah, Syekh Amr Wardani. Ulama Al-Azhar ini rencananya dijadikan saksi ahli dalam kasus dugaan penistaan QS Almaidah 51 ini.
Bahkan opini pun dibuat, mendatangkan Syekh Amr Wardani sama dengan merendahkan ulama di Indonesia. Di sini, saya sedikit merasa lucu. Mengapa harus takut atau sampai dituding merendahkan ulama segala! Mendatangkan saksi ahli kan hak setiap orang! Tapi sudahlah, toh sang ulama keburu dipanggil oleh negaranya.
Di luar kasus ini, hemat saya, Ahok sebenarnya membuka hati kita untuk merefleksikan kembali iman itu sendiri. Ajaran agama dihayati secara terbatas membuat kita tak lebih dari bersikap angkuh dan merasa paling benar di hadapan Tuhan dan menjadi teror kepada manusia lain.
Dan itulah yang dilakukan oleh mereka yang kerap membawa ajaran kitab suci ke dalam hidup yang tidak sesuai pada tempat dan tujuannya. Ajaran agama malah dijadikan alat untuk memuaskan dahaga dendam, mendaku kebenaran seolah ajaran agama lain tidak ada sama sekali.
Mendaku kebenaran agama dengan sikap ekslusif hanya akan melahirkan fanastisme buta. Buktinya jelas. Politik Indonesia masih panas-dingin berapa hari terakhir tiba-tiba dihentakan oleh aksi banal terorisme di Samarinda, Kalimantan Timur (hanya sayangnya, sekelas MUI saja masih menyebut bom yang menewaskan Intan Olivia Marbun itu merupakan bentuk pengalihan isu).
Jika perlu singkirkan pikiran kita dari ketikdaksukaan atas Ahok, tetapi melihat pernyataanya sebagai sebuah kritik iman itu sendiri. Kenapa iman itu perlu dikritik? Apakah agama yang saya anut sejak nenek moyang ini salah?
Kritik iman adalah bagaian dari sebuah proses pendewasaan iman itu sendiri. Tujuannya tak lain agar kita mampu memahami iman secara baik dan benar. Menyadari agama sebagai pilihan, bukan sebagai suatu ajaran yang mengindoktrinasi tetapi diterima sebagai sebuah keyakinan dengan secara sadar dan penuh. Secara sadar dan penuh bahwa manusia adalah makhluk yang religius, berasal dari Allah dan hidup dengan ajaran-ajaran yang baik dan benar.
Ketika kita mampu menerima kritik, bahkan melihat apa yang baik dalam pernyataan Ahok, saya yakin bahwa kita sebenarnya sudah dewasa dalam iman itu sendiri. Maka apa yang dikatakan filsuf Feurbach dan Marx dalam kritik agama juga patut diterima sebagai sebuah proses pendewasaan. Bahwa Allah dalam agama itu sebenarnya bukan proyeksi diri manusia (Ludwig Feurbach) dan bukan juga candu yang meninabobokan (Karl Marx.) Agama adalah sumber kehidupan kita, landasan kemanusiaan kita dalam melihat dan mencinta sesama. Bahwa Agama itu bukan teror kematian atau srigala yang menakutkan tapi jalan menemukan cinta Allah yang sesungguhnya dalam hidup manusiwai kita.
Salam damai
Comments
Post a Comment