Mengapa Parpol Ngotot Jadi Komisioner KPU?
Wacana masuknya anggota partai politik di Komisi Pemilihan Umum menjadi perdebatan panas di Senayan. DPR mau komisioner lembaga pemilu diisi kader partai.
Menelisik ke belakang, penundaan Revisi UU pemilu sepertinya jadi celah masuknya wacana anggota parpol menjadi komisioner KPU ini. Padahal DPR mempunyai waktu hanya tersisa lima pekan untuk merampungkan UU Pemilu ini. Setali tiga uang, DPR juga menunda fit and propert test Komisoner KPU yang seharusnya dilaksanakan pada 12 Apirl 2017 nanti.
Alhasil, setelah Pansus RUU Pemilu pulang membawa 'oleh-oleh' dari kunjungan mereka ke Jerman dan Meksiko, wacana ini kian menguat.
Ketua Pansus Lukman Edy mengatakan di Jerman ada 11 anggota KPU yang terdiri satu unsur pemerintah, dua hakim, dan delapan dari parpol. Untuk itu, Pansus RUU Pemilu mewacanakan Indonesia memiliki format sama. Kemungkinan terbesarnya adalah opsi yang meletakkan perwakilan parpol di sebuah dewan khusus.
Sebenarnya tahun 1999 KPU pernah diisi oleh anggota parpol. Masa ini merupakan masa transisi orde baru menuju masa reformasi. Setidaknya keanggotan KPU diisi oleh 53 orang anggota yang berasal dari unsur pemerintah dan Partai Politik. Keanggotan KPU ini dilantik oleh Presiden BJ Habibie dengan dasar hukumnya yakni Keppres No 16 Tahun 1999.
Namun model ini dihapus seiring pengesahan UU nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum yang menggantikan Undang Undang Nomor 4 Tahun 2000. UU nomor 12 tahun 2003 menekan prinsip nasional, tetap dan independen lembaga KPU sebagaima ditentukan dalam Pasal 22 e Ayat 4 UUD tahun 1945.
Ide Destruktif DPR
Wacana keangggogan parpol di KPU ini tak kurang mengundang reaksi. Para akademisi dan pemerhati pemilu menilai rencana DPR ini hanyalah sebuah langkah mundur dalam membangun demokrasi di Indonesia. Alih-alih menghadirkan lembaga yang kredibel dan independen, keanggotan KPU dari kalangan parpol justru menjadi konflik kepentingan dan ajang perebutan kekuasaan.
Peneliti Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadil Rahmadanil mengatakan wacana memasukkan kader partai di KPU justru akan merusakkan tatanan dan kemandirian lembaga KPU sebagai penyelenggara pemilu.
Dia mengatakan Pansus RUU Pemilu mesti membaca dan membuka kembali proses perubahan dan penyusunan pasal 22e ayat 5 UUD tahun1945 yang menyebut eksplisit salah satu sifat lembaga penyelenggara pemilu yaitu mandiri. Artinya, kata Fadli munculnya kata mandiri dimaksudkan untuk melepaskan KPU dari keanggotaan partai politik.
Dia menegaskan, makna kata mandiri di dalam pasal dan ayat tersebut dapat dilacak di dalam risalah perdebatan amandemen UUD NRI 1945 tahun 2001. Bahwa munculnya kata mandiri dimaksudkan untuk melepaskan KPU dari keanggotaan partai politik seperti pengalaman 'buruk' di tahun 1999.
"Hal yang paling mendasar tentu saja soal kepentingan yang berbeda antara kelembagaan KPU dengan perwakilan partai politik yang merangkap menjadi anggota KPU," kata Fadil dalam rilis pers.
Fadli mengatakan Pemilu 1999 terjadi keruwetan dalam mengambil keputusan. Hal itu terutama banyak rapat-rapat penentuan kebijakan KPU dalam pelaksanaan Pemilu 1999 dibuat tidak quorum dan deadlock oleh anggota KPU dari perwakilan partai politik. Dia mengatakan tindakan ini dilakukan untuk menghambat kebijakan yang berpotensi merugikan partai politik mereka dalam kontestasi Pemilu 1999.
"Bisa dibayangkan, kekeliruan dengan menyertakan anggota partai politik sebagai peserta pemilu pada 18 tahun yang lalu, hendak diulangi lagi untuk Pemilu 2019," ucap dia.
Namun, bagi pakar hukum tata negara Saldi Isra wacana ini tidak perlu dirisaukan. Menurutnya, DPR harus tetap menjunjung keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 81/PUU-/IX/2011 yang menegaskan aturan menjadi calon anggota KPU dan Bawaslu. Dalam putusan MK itu ditentukan syarat bagi kader parpol yang hendak mendaftar menjadi anggota KPU atau Bawaslu yakni harus mundur dari partai politik minimal 5 tahun.
"Itu kan ada keputusan MK. Ya kalau itu sekedar wacana ya kita biarkan. Toh faktanya secara hukum ada aturan anggota parpol harus jarak 5 tahun," kata Saldi beberapa waktu lalu.
DPR Sebenarnya Malas
Peneliti Formmapi Lucius Karus mengatakan ide Pansus DPR adalah bentuk nyata kurangnya semangat DPR untuk menjamin kualitas Pemilu yang demokratis, bersih dan berintegritas.
Menurutnya, anggota parpol yang masuk dalam tubuh KPU memperlihatkan wajah parpol yang haus kekuasan. Sebab, dengan menguasai KPU, parpol dengan gampangnya membelokkan hasil pemilu yang sebenarnya.
"Itulah yang membuat penyelenggara dari parpol tak akan bisa menjadi independen ketika kuasa terhadap keputusannya bukan berada pada dirinya sendiri tetapi pada elit partainya," kata Lucius.
Lucius mengatakan wacana ini juga disebabkan oleh tingkat elektabiltas partai (partai yang mendominasi panggung pemilu) yang hampir sama. Dia berkata akan sulit bagi suatu partai untuk merebut kemenangan jika bukan dengan cara yang instan yakni 'menyusupkan' kadernya dalam tubuh KPU.
"Dengan demikian ini gambaran mental enak parpol yang malas bekerja di lapangan tetapi bernafsu tinggi bisa memenangi pemilu," kata Lucius.
Sementara itu Fadli mengatakan Pansus RUU Pemilu mestinya sadar, disisa waktu yang sangat singkat, fokus utama mereka sebaiknya menyelematkan Pemilu 2019.
"Beberapa hal yang perlu dipikirkan adalah dan segera dituntaskan adalah terkait dengan desaian Pemilu Serentak 2019. Pedoman utama dalam menyusun UU adalah konstitusi dan Putusan MK. Pansus RUU Pemilu tidak boleh keluar dari pakem itu," kata Fadil.
Comments
Post a Comment