Apakah Pasal Makar Hanya Demi Menyelamatkan Ahok?



Perjuangan Sri Bintang Pamungkas dkk dan Muhamad Al-Khaththath dkk rupanya belum mampu menjungkal Basuki Tjahja Purnama alias Ahok dari jabatannya sebagai Gubenur DKI Jakarta. Nasib Ahok masih ditentukan pengadilan sementara mereka berhadapan dengan tuduhan makar terhadap Pemerintahan Jokowi.

Aksi 212, 414 dan 313 dengan embel-embel super damai memang terbukti. Kecuali di aksi perdana 414 yang sempat ricuh, rangkaian aksi-aksi ini hanya mampu membawa Ahok ke meja hijau. Sejauh itu, Polda Metro Jaya masih menyelidiki apakah ada keterkaitan antara gerakan Sri Bintang dkk dan Al-Khaththath dkk dalam sangkaan makar ini. 

Jerat pidana makar memang menjadi poin krusial sekaligus memunculkan pertanyaan-pertanyaan sesudahnya. Krusial ketika berhadapan dengan pertanyaan apakah pidana makar yang dituduhkan sudah cukup bukti.

Lalu pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah kelanjutan hukum usai ditetapkan sebagai tersangka. Polisi mengatakan Rizieq dkk dan Al-Khaththath dkk sudah memenuhi unsur pidana makar sebagaimana diatur dalam pasal 107 dan 108 dan 110 KUHP. 
Mereka terlibat konspirasi menggulingkan pemerintahan yang sah dengan cara menguasai parlemen.

Pengamat politik Univesitas Pdjajaran Idil Akbar mengatakan Pemerintah dan Kepolisan RI harus mampu mengklarifikasi pidana makar yang menjerat seluruh tersangka ini. Menurutnya, klarifikasi perlu agar publik tidak menduga makar hanya menjadi alat untuk menyelamatkan Ahok dan meredam aksi massa.

"Sejauh benar atau tidak ya harus diklarifikasi oleh pemerintah dan polisi. Kalau belum mampu orang akan nilai yakni adanya perlakuan istimewa untuk Ahok. Jadi perlu klarikasi," kata Idil. 

Idil mengatakan penjelasan polisi selama ini belum memenuhi rasa puas publik meningat sangkaan makar bukan perkara sepele. Hal itu terlihat dari dalil-dalil yang disangkakan yakni karena ada pernyataan untuk menduduki MPR. Padahal, kata Idil dari segi kekuatan yang dimiliki, negara lebih jauh kuat ketimbang massa Al-Khaththath dkk. 

"Mereka punya kekuatan apa dibanding dengan Pemerintah?" katanya. 

Bagi Idil, kasus penistaan agama Ahok dan makar yang dialami Sri Bintang dkk dan Al-Khaththath
merupakan intrik politik yang sedang dimainkan oleh kelompok elite. Alasannya, sesudah Sri Bintang dkk ditetapkan sebagai tersangka, proses hukum mereka hampir tidak terdengar lagi kelanjutannya.  

"Kenapa begitu lama maka jadi pertanyaan. Ahok terkesan dilindungi juga sekaligus dinegasi oleh kekuatan (politik) lain. Ini soal kepentingan elit politik
di Pilkada DKI," katanya. 

Dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu, Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi W. Eddyono mengatakan sangkaan makar tidak serta-merta menjerat
sekelompok warga yang mengekspresikan kebebasan berpikirnya. Menurutnya, jika tanpa batas yang jelas dan disertai bukti yang cukup, sangkaan makar hanya akan jadi alat kriminalisasi. 

"Maka tantangannya, Aanslag atau makar (serangan) harus terlebih dahulu didefinisikan secara lurus oleh Mahkamah Konstitusi (MK), bukan justru dalam proses peradilan. Harus ada judicial review di MK tentang Aanslag atau Pasal Makar," katanya. 

Libertarianisme versus realisme 

Pengamat politik Universitas Indonesia Boni Hargens mengatakan isu makar bukan isapan jempol belaka atau jadi alat kepentingan politis. Menurut Boni, rencana menggulingkan Jokowi ini harus dibaca dalam dua model yakni paham kebebasan (libertarianisme) dan paham realisme.

Bagi golongan libertarianisme, pasal makar yang disangkakan kepada Sri Bintang dan Al-Khathathath dkk merupakan bentuk pembungkaman dan melanggar HAM. Sementara bagi golongan realisme (Pemerintah dan kepolisian), segala potensi yang harus diwaspadai dan bila perlu ditindaki secara tegas.

Boni mengatakan, Pemerintah dan kepolisian sebagai orang yang bertanggungjawab atas keamanan dan kelanjutan sebuah negara punya wewenang penuh untuk meredam setiap gejala makar. Dengan alasan ini, kata Boni, Pemerintah punya dalil dan bukti yang cukup untuk menangkap Sri Bintang dan Al-Khaththath dkk. 

"Ada pelanggaran moral dan HAM di sana tapi Pemerintah dan Polisi melihat kepentingan yang lebih jauh. Yang perlu diingat adalah ini kerja intelijen. Mereka lebih tahu bagaimana sebuah gerakan berawal saat masyarakat tidak tahu," kata Boni.

Menurut Boni, proses hukum Sri Bintang dkk yang berlarut-larut juga memperhatikan sisi keadilan dan stabilitas. Adil yakni dari segi hukum, apakah tersangka makar ibu bisa membuktikan diri terlibat atau tidak. Sementara segi stabilitas adalah hal mempertimbangkan keamanan. Sri Bintang dkk yang didukung penuh Front Pembela Islam mempunyai potensi kembali berulah jika polisi tidak punya cukup bukti untuk menjerat mereka secara hukum. 

Lalu seperti apa ending kisah perjuangan Sri Bintang dkk dan Al-Khaththath ini nantinya? Sepertinya, mereka berjuang bukan lagi menjungkal Ahok tapi bagaimana bisa lolos dari jeratan hukum. 

Tulisan ini sebagian sudah dimuat di CNNIndonesia.com dan digubah seperlunya. 

Comments

Popular posts from this blog

Nasib rumah para jenderal korban peristiwa 65

Perjuangan melawan kemiskinan di perbatasan TTU

Gereja Ayam, simbol kebangkitan pribumi