Ada Cinta di Tarian 'Maut' Caci asal Manggarai, NTT
Atraksi Caci, Slipi, Jakarta Barat |
Menjadi
laki-laki menjadi keunggulan tersendiri bagi Aristoteles, filosof
Yunani. Bagi dia, wanita hanya kelas kedua atau laki-laki yang belum
lengkap. Laki-laki adalah 'manusia unggul' dan wanita hanya pelengkap
semata.
Dalam banyak budaya dengan sistim
Patriarkat, derajat laki-laki paling tinggi itu dihidupi sampai
sekarang. Meski kemajuan Iptek dan adanya perubahan cara pandang atas
gender (emansipasi), namun masih banyak wanita yang mengalami kekerasan,
terpinggirkan dan tetap dianggap sebagai kelas kedua setelah
laki-laki.
Manggarai, Flores, NTT adalah salah
satu dari daerah dengan sistim Patriarkat yang kuat. Kesetaraan gender
diakui, namun laki-laki tetap punya kedudukan tersendiri dalam sebuah
keluarga atau klan. Ia adalah pemimpin keluarga dan penerus klan itu
sendiri.
Maka ketika lahir, ia disebut sebagai ata one (orang dalam) yang bakal meneruskan keluarga itu sendiri. Ia juga berhak untuk mendapatkan semua warisan. Sementara, wanita disebut ata peang (orang luar). Dia bertugas mengatur rumah tangga dan tidak berhak atas warisan keluarga.
Namun,
ketika seorang anak-anak laki-laki Manggarai beranjak dewasa dan harus
mencari pasangan hidup, ia tidak begitu saja dengan mudahnya mendapat
gadis yang ingin dinikahinya. Ia harus berjuang ekstra untuk meluluhkan
setiap gadis yang ingin menjadi pacar dan istrinya kelak.
Ada
satu tarian yang cukup terkenal dari Manggarai. Caci. Suatu ajang
ketangkasan dan simbol sifat ksatria orang Manggarai. Saat ini, tarian
Caci sudah menjadi daya pikat tersendiri bagi wisatawan selain binatang
purba Komodo serta wisata alam lainnya.
Dulu,
tarian Caci bagi orang Manggarai adalah salah satu ajang mencari jodoh.
Setiap perhelatan Caci selalu ada pertemuan yang berujung pada
perkawinan.
Yasintus S. A. Jaar, salah seorang sesepuh Manggarai di Jakarta mengatakan, Caci bukan
sekedar tarian untuk menunjukkan sikap ksatria, tapi
juga memperlihatkan bagaimana laki-laki harus 'tunduk' sebelum mampu
memikat hati seorang gadis.
"Karena dia harus perlihatkan dulu apakah dia bertanggungjawab atau tidak," kata Yasintus saat menghadiri atraksi Caci di Stadion Wijaya Kusuma, Slipi, Jakarta Barat kemarin.
Yasintus mengatakan, terkadang seorang
wanita jatuh hati karena ketangkasan dan keluwesan penari Caci, tapi
dia selalu punya hak untuk memutuskan apakah ia menerima atau tidak
laki-laki tersebut. Sebab, kata Yasintus, laki-laki yang lebih disukai
seorang gadis adalah ia yang kelak menjadi tulang punggung keluarga dan
mampu menjaganya hingga akhir hayat.
"Biasanya penari yang jago lomes (pandai nyanyi dan memainkan pantun) dan tangkas bisa meluluhkan hati seorang gadis," ucapnya.
Caci itu dan Wanita Laki-laki
Caci
merupakan sebuah tarian perang. Ia berasal dari kata ca dan ci. Ca
artinya satu dan ci artinya uji. Secara harafiah, Caci artinya uji
ketangkasan, satu lawan satu.
Caci bisanya digelar sebagai syukuran atas musim panen (ako woja) dan upacara tahun baru adat (penti), upacara pembukaan lahan atau upacara adat besar lainnya, serta dipentaskan untuk menyambut tamu penting.
Tarian
Caci dimainkan dua orang laki-laki, satu lawan satu, dengan memukul
dilakukan secara bergantian. Alat yang digunakan adalah cambuk atau pecut (larik), perisai (nggiling), penangkis (koret), dan panggal (penutup kepala).
Dalam permainan Caci semua wajib bertelanjang dada. Namun tetap mengenakan pakaian perang pelindung paha dan betis berupa celana panjang warna putih dan sarung songke (Songket) khas Manggarai.
Penari Danding Ikatan Keluarga Manggarai Kebon Jerok, Jakarta |
Para
pemain Caci dibagi dalam dua kelompok. Mereka secara bergantian
bertukar posisi sebagai kelompok penyerang dan kelompok bertahan.
Kelompok ini biasanya disebut pihak pengundang atau tuan rumah (ata one) dan kelompok pendatang dari kampung lain (ata pe’ang atau disebut meka landang atau tamu penantang).
Nah, selain hadir sebagai penonton, wanita punya andil besar dalam tarian ini. Saat pembukaan Caci yang dimulai dengan tarian Danding,
wanita selalu ambil bagian sabagai penyanyi dan penari. Pun dalam Caci
itu sendiri, wanita biasanya bertugas sebagai penabuh gong dan gendang
untuk mengiringi pemain Caci.
Neka Oke Kuni Agu Kalo
Selain
adu nyali dan simbol ksatria, lanjut Yasintus, tarian Caci juga
menunjukkan sifat sportifitas orang Manggarai. Meski lecutan cambuk
mengakibatkan luka di badan, namun tak ada dendam di antara mereka.
"Semua selesai di dalam arena. Setelah Caci, dua kelompok saling berangkulan sebagai saudara," ucapnya.
Lebih
jauh, Yasintus mengatakan Caci bagi orang Manggarai merupakan
kesempatan untuk bertemu satu sama lain. Apalagi, kata Yustinus Caci itu
digelar di tanah perantauan semisal Jakarta.
Yasintus
mengatakan, pergelaran Caci di tanah rantau adalah cara menghidupi adat
dan budaya agar tidak dilupakan oleh anak-cucu.
"Ada satu ungkapan orang Manggarai yaitu Neka Oke Kuni Agu Kalo. Artinya dimana pun kami berada, adat-istiadat itu harus dijunjung tinggi dan tidak boleh dilupakan," katanya.
Perlu
diketahui, tidak semua laki-laki Manggarai bisa bermain caci. Hanya
laki-laki yang punya keberanian lebih dan didukung oleh kemampuan menari
dan bersuara bagus bisa bermain Caci. Sebab Caci itu mengandaikan lomes
(seni) dan punya ketangkasan. Meski tergolong keras, peminat permainan
Caci tidak pernah menurun dari tahun ke tahun dan selalu menjadi hiburan
favorit orang Manggarai.
Comments
Post a Comment