Menguak Kasus Dokter Helmi dari Sudut Battered Husband Syndrome



Klinik Azzahra Medical Centre di Jalan Dewi Sartika, Cawang, Jakarta Timur mendadak heboh setelah terdengar enam kali letusan senjata api. Dokter Letty Sultri yang bertugas sebagai dokter di klinik tersebut tewas berlumuran darah sekitar pukul 14.00 WIB, Kamis, 9 November 2017.

Pelakunya adalah Ryan Helmi, suaminya sendiri yang juga berprofesi sebagai dokter. Untuk sementara motif penembakan diduga karena dipicu oleh masalah rumah tangga. Dokter Helmi enggan diceraikan istrinya, dokter Letty, yang dikenalnya melalui jejaring sosial Facebook.

Setelah dokter Letty tewas, 'dosa-dosa' dokter Helmi pun terkuak. Dokter dengan spesialisasi kulit dan kecantikan lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti itu ternyata kerap menggunakan obat penenang dan pernah memperkosa seorang karyawati salah satu klinik di Jakarta Timur.

Sebelum tewas, dokter Letty juga dilaporkan pernah berniat menceraikan suaminya. Saat itu, korban mendapat perlakuan kasar dari tersangka dan melaporkan kasus tersebut ke Polres Jakarta Timur. Namun kasus tersebut tidak dilanjutkan lantaran keduanya berdamai.

Sebelum kasus dokter Letty, pada 1 September 2017, kasus penembakan yang dilakukan suami kepada istrinya menimpa seorang pegawai Badan Narkotika Nasional (BNN) Lido bernama Indria Kameswari. Indria tewas ditembak suaminya, Mochamad Akbar tepat saat warga lainnya tengah melaksanakan salat Idul Adha, di Perumahan River Valley, Cijeruk, Kabupaten Bogor.

Sama seperti rumah tangga dokter Letty dan dokter Helmi, rumah tangga Indria dan Akbar juga diwarnai pertengkaran. Keluarga Akbar menyebut persoalan materi menjadi penyebab pertengkaran selama lima tahun menikah.

Indria disebut-sebut selalu menuntut uang lebih, rumah, dan mobil mewah. Dia juga sering memukul dan berkata kasar jika kemauannya itu tidak dituruti.

Kasus KDRT berujung penembakan tersebut bagi psikolog forensik Reza Indragiri ibarat fenomena gunung es. Pemicunya bisa saja sepele, tapi juga bisa kompleks.

Tapi yang tak kalah penting, bagi Reza, adalah menelisik fenomena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang berujung pada pembunuhan dan juga penembakan. Padahal, kata Reza, Indonesia sendiri mempunyai Undang-undang KDRT untuk melindungi perempuan atau mereka yang teraniaya dalam rumah tangga.

"Kita geger dan sedih kala suami menghabisi isterinya dengan sekian banyak peluru. Padahal, boleh jadi ini 'hanya' sebuah titik ekstrim dalam spektrum KDRT," kata Reza kepada Kriminologi, di Jakarta, Minggu, 12 November 2017.

Menurut Reza, jika seorang perempuan menjadi pelaku kekerasan terhadap pasangannya, mereka kerap menggunakan 'battered women's syndrome' atau sindrom wanita teraniaya sebagai pembelaan diri. Selain wanita, laki-laki juga mengalami hal yang sama.

Sindrom wanita atau laki-laki teraniaya kerap terjadi pada situasi KDRT yang berkelanjutan. Wanita ataupun laki-laki 'rela teraniaya' atau merasa nyaman menerima kekerasan dari orang terdekat karena tak bisa keluar darinya.

Teori wanita teraniaya ini sebenarnya pertama kali dikenalkan seorang psikolog feminis, Lenore Walker tahun 1970-an. Teori Walker kemudian menjadi landasan hukum terutama dalam membela korban KDRT. Wanita membunuh suaminya untuk membela diri, diduga dampak dari sindrom ini.

Kasus itu terjadi pada seorang perempuan bernama Kiranjit Alwuhalia, seorang wanita asal India yang mendapat perhatian internasional setelah membakar suaminya sampai meninggal pada 1989 di Inggris. Ia dinyatakan bebas dari pengadilan London.

Sosok dokter Helmi, menurut penuturan sahabat korban bernama Cendana yang mengenal korban sejak zaman kuliah mengatakan suami Letty  itu di masa kuliahnya itu adalah sosok yang nakal. Helmi sering mengkonsumsi berbagai obat-obatan terlarang semasa kuliah.

Dokter Helmi, kata Reza, tentu saja harus dihukum sesuai perbuatannya. Namun, tanpa mengurangi rasa keadilan bagi korban, perlu juga ditelisik sebab-musabab kejadian menyedihkan tersebut.

"Mungkinkah suami sebelumnya berada di posisi teraniaya, sehingga penembakan adalah sebuah peristiwa yang menandai dia tak sanggup lagi bertahan dalam kondisi teraniaya tersebut?" kata Reza. 

Menurut Reza, dalam sekian banyak kasus, tidak sedikit istri atau perempuan yang menghabisi suami atau lelaki namun divonis tak bersalah sebagai pembelaan diri. Tapi sebaliknya, kata Reza, nyaris tidak ada sama sekali suami atau lelaki yang bisa lolos dari hukuman dengan pembelaan berupa battered husband/man's syndrome.

Tulisan ini sudah dimuat di Kriminologi.id, Minggu, 12 November 2017

Comments

Popular posts from this blog

Nasib rumah para jenderal korban peristiwa 65

Perjuangan melawan kemiskinan di perbatasan TTU

Gereja Ayam, simbol kebangkitan pribumi